Postingan

Menampilkan postingan dari 2020

Menjaga Ritme Pertemanan

Saya menulis tulisan ini di hari Jumat selepas saya mengajar daring.  Tepat seminggu yang lalu, saya yang terhitung jarang mengakses akun instagram pribadi kecuali untuk memamerkan kegelisahan dan ketidakgantengan saya, akhirnya membuka akun instagram pribadi saya. FYI, saya punya akun instagram lain yang following saya kebanyakan bercerita tentang hidup sehat (baca: pola hidup supaya langsing), info disabilitas, info lomba menulis, akun-akun ikan hias, dan terakhir akun-akun yang bercerita tentang hidroponik. Dan, akun ini yang sering saya buka daripada akun pribadi saya. Setelah saya login, saya lihat beberapa postingan teman-teman, ternyata tidak ada yang menarik dan tidak ada yang berubah. Diantara mereka memamerkan kebahagiaan, sebagian lainnya bercerita tentang jalan-jalan. Mungkin memang instagram dirancangan menjadi wadah unjuk kebahagiaan, alias pamer. Lalu karena saking nganggurnya, saya iseng membuka beberapa instastory teman, kerabat. Saya menemukan akun teman dekat, seoran

Teruntuk Ibu, Terima Kasih untuk Segalanya

Awal September kemarin jadi penanda hari baru. Setelah 37 tahun lamanya banting tulang, terik dan panas, hujan dan mendung dilewati demi kami, mama memasuki purna bakti. Ketika kami tumbuh menjadi dewasa, kami baru tahu hidup kadangkala terasa perih, kami juga tahu hidup juga tak selamanya indah. Saat itu juga kami tahu, bahwa ada upaya yang amat keras yang dilakukan seorang ibu kala menghadapi itu semua. Semata-mata dilakukan untuk keluarga agar kehidupan menjadi lebih baik setiap harinya. Kami, kedua anakmu jadi saksi betapa kerasnya ibu menghidupi kami. Saat kami sedang nyenyaknya-nyenyaknya tidur, ibu sudah terjaga, memanjatkan doa terkhusyuk sebelum hari bermuara.  Selepasnya, ibu harus menahan dingin mempersiapkan segalanya, agar tanggung jawab pekerjaan dan tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga berjalan beriringan. Selepas adzan subuh, ibu sudah di kereta, berkerumun dengan pejuang lainnya semata-mata untuk kami. Maka di hari ini, izinkan kami untuk mengucapkan terima kasih

Kalah ketika Kuliah

Muhamammad Ibrahim atau biasa dikenal di antara kami dengan panggilan Baim adalah salah seorang rekan kami di rumah. Belum lama ini ia memilih untuk tidak meneruskan kuliahnya ketika sudah berjalan sejauh empat semester. Bukan bidang yang menjadi ketertarikannya dalihnya.  Kini di antara kami sibuk menghardik Aim. Dengan becandaan ala anak tongkrongan , beberapa di antara kami menjuluki Aim sebagai cikal bakal pengangguran abadi. Beberapa lainnya bahkan terang-terangan menyebut Aim tidak tahu diuntung. Dengan kondisi orang tuanya yang berkecukupan, rasa-rasanya alasan berhenti kuliah karena terhalang biaya tidak jadi relevan. Tidak seperti teman-teman lainnya yang rasa-rasanya kuliah bukan lagi sebuah mimpi, kuliah hanya sebatas angan-angan karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan. Saya cukup akrab dengan Aim. Bahkan beberapa kali terlibat pekerjaan lepas bersama. Kedekatan tersebut saya manfaatkan barangkali sekadar menjadi teman cerita.  Pada suatu malam, di sebu

Sekelumit Manusia Beruntung

Gambar
  Terngiang betul ucapan ibu kala berceloteh tentangku di depan sanak saudaranya yang tak lain adalah bude pakde.  "Denny itu tidak pintar, hanya beruntung", ujarnya.  Aku yang merasa telah bersusah payah untuk menyelesaikan studi strata 1, dengan logika sumbu pendek seketika tersinggung dengan ucapan ibu ketika itu. Terngiang dan terngiang sampai terpikir, "apa aku kurang cukup membanggakan bagi kedua orang tuaku?" Sebulan, dua bulan, bahkan hingga enam bulan berlalu menjalani getir dan perihnya hidup menjadi orang dewasa, rasa-rasanya ucapan ibuku benar adanya. Betapa berulangkali diuji dan dicambuk oleh kehidupan dan betapa berungkali juga Allah bantu dan selamatkan. Bukan karena kepintaran, tapi semata-mata karena keberuntungan yang maha kuasa beri. Jika boleh jujur, setiap fase sulit yang saya hadapi, saya merasa tidak berjuang sedemikian adanya untuk menyelesaikannya. Saya juga tidak merasa berupaya sampai-sampai "banting tulang". Berangkat

Ayah, Ibu Maaf untuk Segalanya

Gambar
Pagi tadi, di tengah menyimak bacaan surat al- A'la yang dilantunkan imam di rokaat pertama sholat Id, seketika selintas muncul wajah ibu dan ayah.  Jika dihitung sejak akil baligh, mungkin sudah 20 kali banyaknya ku sholat idul fitri, tapi baru kali ini wajah keduanya hadir meracau ditengah-tengah sholat. Terbayang, bahu legam saksi kerja keras ayah sudah sedikit membungkuk. Terlihat pula keriput menghiasi wajah ibu yang menandai semakin menua keduanya. Seketika, dibalik masker yang menutup mulut hidung, air mata tak bisa saya bendung. Saya menangis sesenggukan. Tetesannya membasahi masker yang ayah saya ingatkan untuk tak luput dibawa ke masjid.  Saya menangis lirih, takut, satu yang saya khawatirkan, bagaimana jika idul fitri ini jadi lebaran terakhir kami untuk bersama? bagaimana jika idul fitri ini jadi momen tak berulang lagi dikemudian hari? bagaimana jika tak ada lagi kesempatan seoarang anak meminta maaf atas kubangan dosanya terhadap orang tua? bagaimana jika satu diantar

Kemana Perginya Hal-hal Tabu?

Gambar
Sekarang kita tidak perlu terlalu memikirkan hal-hal yang ditabukan, sebagaimana pada dekade-dekade atau generasi sebelumnya. Kata tabu sendiri sudah jarang terdengar lagi, karena tinggal sedikit hal-hal tabu yang tersisa.  Hidup di zaman penuh keterbukaan, begitu banyak batasan yang sudah tersingkir. Coba nyalakan remote televisimu lalu amati. Televisi terasa begitu jahat, menampilkan borok kehidupan masing-masing pelakunya. Surat kabar dikuasai partai politik. Berita yang disajikan bergantung pada kepentingan pemiliknya. Media sosial apalagi. Media sosial menjadi media paling ampuh yang menjangkau pelosok negeri namun juga membuka tabir-tabir yang selama ini dianggap tidak patut diperbincangkan.  Dunia nyata juga demikian. Periode lalu perkumpulan tongkrongan anak muda diisi dengan obrolan universal tentang musik, film, gosip terhangat yang terjadi di lingkungan sekitar, tempat wisata privasi yang belum banyak di datangi orang, atau bahkan obrolan popular sejak jaman bapak saya kecil

Egi Lupa untuk Melupa

Gambar
                      via medium.com Senin, menjadi sesuatu yang memuakkan bagi mereka-mereka yang menemukan neraka kecil bernama tempat kerja. Begitu juga dengan Egi. Meskipun setiap bulan biaya hidupnya dan empat anggota keluarga lainnya berasal dari penghasilan di tempat kerjanya tersebut, tapi memaki tempat kerjanya sendiri adalah suatu kebiasaan yang ia lakukan ketika dia didera bertubi-tubi tugas dengan batas waktu yang mencekik hampir bersamaan. Ketika bangun tidur, membuka matanya, yang ia lakukan pertama kali ada mengembuskan napasnya dalam-dalam lalu menggumam, "anjing, udah Senin aja, perasaan Sabtu-Minggu cepet banget, ngehe". Egi peregangan sedikit lalu beranjak dari kasurnya, seketika terbayang wajah pimpinan visioner dengan sejuta ide tapi tidak manusiawi. Pimpinannya merupakan sosok idealis dan kreatif. Setiap kali pimpinannnya mendapat tugas dinas luar selalu bermunculan ide baru yang diterapkan di tempat kerjanya. Bahkan saking banyaknya ide dan gagasan yang

Pekerjaan yang Baik

Gambar
Jam tujuh pagi. Seorang guru datang ke sekolah dengan seragam biru dongker kebesarannya, bersepatu pantofel, menenteng tas dengan setumpuk buku juga alat elektronik penunjang berupa laptop di dalamnya. Bersamaan dengan itu, seorang ibu penjaja nasi uduk, berkaus, sandal jepit, menenteng setoples kerupuk dan membawa senampan gorengan yang baru saja matang. Manakah pekerjaan yang lebih baik?  via cerpen.co.id Jam delapan pagi. Seorang kasir sebuah retail terkemuka di negeri ini datang ke toko, rapi dengan rambut berpomade, berdiri di balik meja kasir menanti setiap orang yang datang untuk membeli beraneka ragam barang yang menjadi kebutuhan hariannya. Di waktu yang sama, seorang tukang parkir bercelana seadanya, kadang bercelana pendek, kadang bercelana panjang dengan bagian lutut sengaja dirobek, dilengkapi rompi berwarna hijau swallow di lengannya, bersiap menanti setiap kendaraan yang terparkir di depan toko retail tersebut. Manakah pekerjaan yang lebih baik? Jam sembilan pa

Kilas Cerita Home Learning

Gambar
Tiga minggu sudah anak-anak belajar di rumah akibat wabah pandemik Corona menjangkiti penduduk bumi, menyakiti Indonesia.  Selama tiga minggu pula tidak alpa guru, murid dan orang tua saling bertukar kabar. Saling bertanya tentang perkembangan belajar peserta didik. Saling memberikan informasi terkini tentang perkembangan dan kebijakan home learning. Maupun saling bertanya tentang kondisi kesehatan masing-masing. Semuanya tersiar dan terkabar melalui media sosial bernama Whatsapp group.  Semoga pahala jariyah melimpahi bapak-bapak dan ibu-ibu si pembuat whatsap. Semula pelaksanaan home learning berjalan dengan kondusif dan semestinya. Setiap hari minggu, guru memberi materi dan tugas-tugas terjadwal yang akan dilakukan dan dikerjakan oleh peserta didik melalui whatsapp group orang tua. Lalu orang tua mendapat tugas untuk mencetak lalu diberikan kepada anak setiap harinya dengan bimbingan orang tua. Kemudian setiap pagi guru memberikan rekondisi berupa materi apa y