Pekerjaan yang Baik

Jam tujuh pagi. Seorang guru datang ke sekolah dengan seragam biru dongker kebesarannya, bersepatu pantofel, menenteng tas dengan setumpuk buku juga alat elektronik penunjang berupa laptop di dalamnya. Bersamaan dengan itu, seorang ibu penjaja nasi uduk, berkaus, sandal jepit, menenteng setoples kerupuk dan membawa senampan gorengan yang baru saja matang. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

 via cerpen.co.id

Jam delapan pagi. Seorang kasir sebuah retail terkemuka di negeri ini datang ke toko, rapi dengan rambut berpomade, berdiri di balik meja kasir menanti setiap orang yang datang untuk membeli beraneka ragam barang yang menjadi kebutuhan hariannya. Di waktu yang sama, seorang tukang parkir bercelana seadanya, kadang bercelana pendek, kadang bercelana panjang dengan bagian lutut sengaja dirobek, dilengkapi rompi berwarna hijau swallow di lengannya, bersiap menanti setiap kendaraan yang terparkir di depan toko retail tersebut. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

Jam sembilan pagi. Seorang pegawai datang ke kantor, rapi dan wangi, duduk di depan komputer sambil merasakan embusan AC dingin di kulit. Di waktu yang bersamaan pula, seorang montir mendorong rolling door bengkelnya, membereskan alat yang segera membuat tanda tangan bernoda hitam, bersiap menanti pelanggan. Manakah pekerjaan yang lebih baik?

Pertanyaan ini muncul karena saya teringat dengan cerita salah seorang pegawai yang baru saja bergabung di sekolah, yang memutuskan untuk menjadi cleaning service sebuah sekolah. Dia masih muda, umurnya pertengahan usia 20an, lulusan sebuah SMA. Satu hal yang menjadi menarik adalah bahwa ia memutuskan untuk menjadi cleaning service di sebuah sekolah setelah menghabiskan waktu kurang lebih tujuh hingga delapan tahun menempuh pengalaman bekerja sebagai barista di salah satu coffee shop tersohor yang sedang digandrungi anak muda jaman kini dengan satu tahun terakhir sebelum keputusannya berhenti adalah menjabat sebagai supervisor.

Kemudian ada juga cerita salah seorang teman jaman SMA dulu. Saya bertemu dengannya di sebuah pusat perbelanjaan dan ia mundur sambil menunduk, malu dengan pekerjaannya sebagai trolley boy. Saya bertemu dengan yang lainnya, dan ia sibuk untuk mencari nama lain untuk menyamarkan pekerjaannya sebagai waitress. Saya bertemu dengan yang lainnya di tepi jalan, seketika dia menurunkan ujung topi untuk menutupi sebagian wajahnya ketika memilih pekerjaan mulia mengatur masuk keluarnya kendaraan dari jalan raya menuju sebuah jalan kecil menuju rumahku.

Kenapa demikian? Perkiraan saya karena adalah karena adanya pandangan tentang sesuatu yang disebut 'pekerjaan yang sesungguhnya'.

Saya juga mengerti sulitnya mencari pekerjaan yang dianggap layak bagi lulusan SMA. Ditambah lagi mereka biasanya belum menemukan minat mereka, dan tidak terbiasa melihat alternatif lain selain menjadi pegawai.

Tapi, apakah pekerjaan yang baik itu?

Tilikan lebih dalam akan menyingkap bahwa profesi ikut membentuk identitas dan karakter, menjadi bagian pencarian makna hidup dan kebahagiaan, dan akhirnya sekelumit orang berpikiran bahwa profesi menjadi simbol untuk menunjukkan manusia macam apa yang menyandangnya.

Sebelum memutuskan menjadi guru. Saya juga pernah merasakan berada di titik kehilangan identitas. Awal dilema diri terbentuk ketika memiliki pola pikir "kewajiban orang tua adalah menyekolahkan. Setelah lulus sekolah, kau yang menentukan hidupmu sendiri".

Dulu sekali pernah melamar menjadi helper yang bertugas menyiapkan sebuah stand event sebuah produk tertentu. Bersiaga dari sore, mulai menaikan perangkat dan kebutuhan stand seperti panggung mini, tenda, dan juga umbul-umbul. Kemudian saya dan beberapa helper lainnya ikut di atas truk menjaga sewaktu-waktu supaya barang tidak ada yang terjatuh tatkala perjalanan menuju sebuah lokasi event. Setelah sampai lokasi, kami menurunkan perangkat-perangkat lalu mempersiapkan stand sampai beres. Kadangkala kita bekerja sampai dini hari, tertidur di sisi trotoar dengan dalih menjaga stand dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Hingga tiba waktunya matahari mulai menyongsong. Beberapa karyawan dengan label 'SPG' satu persatu mulai datang dan menjajakan produk. Giliran kami hanya menertawakan mereka yang berlenggak-lenggok menjual produk dengan modal penampilan dan sepak sepik iblis. Sialnya, kami yang sudah letih semalaman sesekali juga kena tugas untuk membawakan produk dengan menggunakan boks dan container yang mungkin beratnya mencapai 50 kilogram.

Pernah juga menjadi pekerja lepas surveyor LSM bidang perpolitikan. Tugasnya tidak bisa dibilang mudah juga. Dengan nametag tergantung, saya berkeliling Jakarta untuk meminta pandangan warga Jakarta kala itu terhadap pemilu 2014 yang akan berlangsung.

Sedikit pengalaman, mencari satu titik lokasi ke lokasi lainnya di Jakarta cukup sulit. Meskipun sudah terbantu aplikasi maps, tapi mencari satu rumah yang hanya berpatokan alamat dirasa sangat sulit. Satu hari menjalani, barulah menyadari bahwa penomoran rumah di Jakarta dibuat secara acak. Kadangkalah satu kelurahan dengan kelurahan lainnya itu berseberangan tapi jalan menuju ke lokasinya harus mencari jalan memutar yang sangat jauh. Tanya sana tanya sini menjadi metode terampuh untuk menemukan satu lokasi. Sudah tanya sana tanya sini malah bertemu jalan buntu. Hmm.

Pernah satu waktu datang ke lokasi yang penduduknya mayoritas beragama nasrani dan hampir tiap rumah memiliki anjing sebagai hewan kesayangan. Bahkan di sekitar area tersebut didirikan sebuah hotel dengan penjagaan anjing berkisar 15 sampai 20. Bagi saya yang memiliki traumatik dengan anjing, hal tersebut tentu tak mudah.

Belakangan saya sadari bahwa LSM tersebut merupakan kepunyaan dari pendiri salah satu partai yang bisa dikatakan baru di kancah nasional sekaligus pemiliki beberapa stasiun TV nasional. Tujuan terselubung survey tersebut adalah sebagai bentuk promosi dan pengenalan partai. Sialan.

Berjalannya waktu saya pernah mendapat pengalaman menjadi surveyor bagi perusahaan pengelola lahan parkir di bilangan Kelapa Gading. Tugasnya mencatat plat nomor kendaraan yang silih berganti masuk ke kawasan pertokoan dan mencatat perkiraan rupiah yang dihasilkan dari mesin e-parkir.

Apakah pekerjaan ini mudah?

Tidak juga. Selama kurang lebih sebulan kontrak kerja saya tersebut berlangsung di bulan Ramadhan disaat kondisi saya yang notabene Muslim sedang berpuasa dan harus bekerja di tengah terik matahari di bilangan Utara Jakarta. Kondisi tersebut diperparah dengan diharuskannya saya bekerja dengan sejujur-jujurnya mencatat plat nomor ditengah tekanan tukang parkir nakal yang bertugas hari-harian yang selama ini menyelundupkan uang parkir dengan memilih memarkirkan mobil dan motor secara manual dan tidak mengoperasikan e-parkir. Sehingga uang parkir yang seharusnya tercatat oleh mesin e-parkir akhirnya masuk ke kantong pribadi.

Kondisi saat itu petugas parkir yang bertugas di bilangan Kelapa Gading satu sama lain saling mengenal akrab karena mereka rata-rata berasal dari daerah yang sama. Satu kelompok area ada yang berasal dari Madura, ada juga yang berasal dari Flores, banyak juga yang berasal dari Ambon, di sisi lainnya ada kelompok yang berasal dari Papua. Tidak terbayang jika ketika saya harus mencatat kondisi pendapatan harian satu area parkir di bawah tekanan dan intimidasi mereka semua.  

Berjalannya waktu, saya juga pernah mengalami pahitnya menjadi pengemudi ojek online dan taksi online. Ketika itu  menjadi keduanya adalah pilihan yang sangat menggiurkan bagi sebagian besar orang. Di tengah iming-iming angin surga besarnya pendapatan yang bisa diperoleh dalam satu bulan, saya menjadi bagian dari orang-orang yang tergiur.

Satu minggu pertama, saya membuktikan bahwa angin surga itu hanya angan-angan. Bagaimana tidak, seharian saya berkeliling dengan motor, besaran uang yang saya terima paling besar berjumlah Rp.70.000,00 itu belum termasuk sejumlah uang yang harus saya keluarkan untuk bensin, untuk makan siang.

Hal tersebut bukan tanpa alasan. Ketika itu sedang gencar promosi salah satu provider transportasi ojek online. Banyak orang mendapat promosi berupa Rp.0. Artinya beberapa orang yang memakai provider online tersebut tidak membayar sepeserpun atas jasa yang ia gunakan.

Walaupun upah atas promosi tersebut dibayarkan belakangan. Tetap saja tidak manusiawi.

Bayangkan, satu pengalaman pahit saya ketika itu saya berada di sekitar kantor walikota Jakarta Utara. Kemudian hanphone berdering yang menandakan adanya penumpang yang ingin menggunakan jasa ojek transportasi online. Ketika saya lihat layar handphone, saya diharuskan menjemput penumpang di daerah pelabuhan Tanjung Priok yang jauhnya dari kantor walikota Jakarta Utara sejauh 5 kilometer.

Setelah celingak-celinguk dan bertukar kabar. Saya menemukan penumpang saya yakni seorang perempuan dengan ciri-ciri memakai kupluk  reggae berwarnah merah, hijau, kuning ala orang Jamaika.

Yang membuat saya jengkel adalah ia memaksa tetap menggunakan motor dengan barang bawannya berupa kotak sebesar kulkas satu pintu yang ditaruh tepat di belakang punggung saya. Alhasil saya harus melajukan motor dari pelabuhan Tanjung Priok sampai Grogol kurang lebih 25 kilomoter dengan keadaan setengah duduk atau bokong saya maju.

Sesampainya di Grogol, saya lihat argo tertulis Rp 0 dan dia memberi tips sebesar Rp.2.000,00. "huh" Saya menghela napas panjang, mencoba belajar bersyukur mesti setelahnya punggung saya linu seharian sampai-sampai tidak dapat beraktivitas.

Ujian saya tidak berhenti sampai disitu. Setelah satu bulan menjadi ojek online dengan penghasilan tidak lebih dari satu juta rupiah, motor saya seringkali mogok dan menjadi bobrok bahkan sampai diharuskan turun mesin dengan biaya yang terbilang tidak sedikit. Pun pengalaman pahit menjadi taksi online juga tidak jauh beda dengan ojek online.

Setelahnya saya mengambil kesempatan untuk mengajar les bagi anak berkebutuhan khusus dengan hambatan pendengaran. Singkat cerita saya diminta untuk menggantikan salah seorang kakak tingkat ketika kuliah yang harus fokus dalam penyelesaian tugas akhir kuliahnya. Untuk satu kali pertemuan dengan durasi 90 sampai 120 menit saya dibayar sebesar Rp.70.000,00 meskipun harus menempuh jarak 40 kilometer dari Citayam ke Cempaka Putih selama 2 jam perjalanan kurang lebih.

Berhubung saya kuliah di jurusan Pendidikan Luar Biasa, saya berpikir di kesempatan ini saya bisa bekerja sambil belajar, bisa mengaplikasikan ilmu dan teori yang didapat melalui tembok kampus juga memberi manfaat bagi banyak orang.

Benar saja, banyak hal terjadi di luar ekspektasi saya. Dunia nyata memang lebih memiliki nilai ketimbang sebuah tulisan dalam buku-buku karangan para pakar. Dalam kesempatan tersebut saya belajar banyak hal. Dimulai dari belajar cara berkomunikasi dengan seorang anak dengan hambatan mendengar yang notabene menggunakan isyarat. Saya juga belajar bagaimana menyampaikan materi dan ilmu berdasarkan karakteristik dan keragaman cara belajar anak. Saya juga belajar ilmu 'tarik ulur', 'tegas dan merayu' ketika anak sedang tidak mood belajar. Saya juga belajar bagaimana membuat media pembelajaran yang sesuai dan cocok dengan materi serta disenangi anak. Hal-hal tersebut juga yang menjadi pemantik untuk semangat mengajar, semangat bekerja, semangat belajar dari anak-anak berkebutuhan khusus.

Kita harus memulai untuk jadi biasa dan terbiasa.

Setelah pengalaman saya tersebut, saya menjadi candu untuk mengajar anak-anak dengan kebutuhan khusus. Mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya. Mengajar dari pagi hingga larut. Mengajar dari rumah ke rumah, sampai mengajar dan mengabdi di lembaga yang dikelola oleh kampus saya sendiri.

Tentu bukan uang yang menjadi acuannya. Jika boleh jujur nominal yang bisa saya terima tidak lebih dari seratus ribu rupiah setiap harinya ketika itu. Tetapi dari setiap pertemuan ke pertemuan dengan anak-anak tersebut ada nilai-nilai yang selalu bisa saya rengkuh dari mereka. Mulai dari nilai tekad berjuang sesuai kemampuan yang ada. Nilai bersyukur dengan pemberian apapun dari Tuhan. Nilai bahwa standar sukses, bahagia dan kemewahan setiap orang tidak melulu tentang uang.

Oleh karena itu, terkadang rasa miris melihat kondisi beberapa rekan yang bekerja hanya berorientasi uang. Ketika niat saya membantu menawarkan sebuah lowongan pekerjaan, pertanyaan pertama yang ditanyakan kepada saya adalah "berapa feenya?"

Pemikiran tersebut tidak dapat disalahkan juga. Tetapi melihat responnya demikian, dalam hati saya hanya berkata, "HAHAHAHAHAHAHAHAHA" lalu meneriakkan 4 huruf berawalan huruf "F" (dalam bahasa Inggris-red) yang akan membuat Paus Fransiskus menangis.

Dalam benak, saya bertanya "pekerjaan seperti apa yang baik itu?" Apakah yang berhadapan dengan komputer? Berkantor di gedung bertingkat? Berpakaian fashionable? Saya kira kita sepakat tidak demikian.

Saya teringat sebuah film bertajuk Janji Joni. Joni adalah pengantar film dan dia dengan tegas berkata dia bahagia dengan pekerjaannya. "Pekerjaan menyampaikan sesuatu adalah pekerjaan mulia. Bahkan itulah tugas para nabi."

Tapi jangan anggap kurir daun Aceh juga merupakan pekerjaan mulia yha.

Berdasarkan film Janji Joni kita menangkap satu hal yang fundamental bahwa dalam sebuah profesi melekat sebuah arete (keutamaan). Artinya profesi tidak terkait dengan hanya persoalan mencari rupiah dan mata pencaharian, melainkan lebih dalam dari pada itu, yaitu persoalan hidup yang lebih baik. Profesi memungkinkan seseorang menjadi "untuk apa dia ada". Di dalam perspektif religius, profesi dikaitkan dengan panggilan hidup, panggilan jiwa, panggilan Allah.

Proses berpikir tidak sampai disitu.

Pekerjaan yang baik adalah yang bernilai ibadah, tapi juga haruslah yang kita sukai, yang memenuhi kebutuhan rohani kita, yang membuat kita bahagia ketika mengerjakannya.

Inilah yang saya impikan juga yang mungkin rekan-rekan jaman SMA dulu saya impikan. Menemukan pekerjaan yang mereka sukai. Tidak harus berpakaian licin dan berjalan di atas lantai mengkilap. Bisa saja berpeluh, bercoreng cat, berkotor-kotor, asal membuat hati bahagia. Lagipula, pada banyak kasus, pekerjaan seperti penjual bakso dan mie ayam, kadang berpenghasilan sama, atau bahkan lebih, daripada pegawai bank.

Tentu saja klise memang jika saya berkata "temukan minatmu, lalu bangun mimpi-mimpimu. Jangan biarkan pandanganmu tertipu dengan tampilan luar yang mentereng, karena hatimulah yang lebih penting."

Kalaupun akan lama hingga mimpi itu terwujud, tak apa. Kerjakan yang ada, ambil kesempatan yang tersedia, walaupun sebagai cleaning service atau bahkan pengatur lalu lintas. Tapi, jangan biarkan mimpimu mati. Jangan. Walaupun jalannya akan berkelok-kelok, kadang berhenti terpaksa berhenti sejenak, tapi tetaplah mengarah ke sana, ke mimpimu. 

Sebab apa?

Sebab harga diri laki-laki adalah bekerja. 
 
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. [Surat Al-Jumu’ah 10]

Oiya, teruntuk rekan-rekan yang terkena PHK dimasa pandemik wabah corona ini, tetap semangat teman-teman. Mungkin hari ini buruk, esok belum juga membaik. Tapi optimislah bulan depan mungkin akan indah.

Satu yang bisa kita yakini bahwa rezeki sudah diatur, rezeki juga tidak melulu tentang uang.

Bogor, 18 April 2020
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis