Kilas Cerita Home Learning




Tiga minggu sudah anak-anak belajar di rumah akibat wabah pandemik Corona menjangkiti penduduk bumi, menyakiti Indonesia. 

Selama tiga minggu pula tidak alpa guru, murid dan orang tua saling bertukar kabar. Saling bertanya tentang perkembangan belajar peserta didik. Saling memberikan informasi terkini tentang perkembangan dan kebijakan home learning. Maupun saling bertanya tentang kondisi kesehatan masing-masing. Semuanya tersiar dan terkabar melalui media sosial bernama Whatsapp group. 

Semoga pahala jariyah melimpahi bapak-bapak dan ibu-ibu si pembuat whatsap.

Semula pelaksanaan home learning berjalan dengan kondusif dan semestinya. Setiap hari minggu, guru memberi materi dan tugas-tugas terjadwal yang akan dilakukan dan dikerjakan oleh peserta didik melalui whatsapp group orang tua. Lalu orang tua mendapat tugas untuk mencetak lalu diberikan kepada anak setiap harinya dengan bimbingan orang tua. Kemudian setiap pagi guru memberikan rekondisi berupa materi apa yang harus diberikan dan bagaimana orang tua membantu anak dalam belajar terkait materi tersebut. Setelahnya orang tua mengirim dokumentasi berupa foto anak sedang mengerjakan tugas, maupun video pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan orang tua di rumah. Jika sudah selesai, orang tua mengirim dokumentasi hasil pekerjaan yang sudah dilakukan oleh anak. Kemudian guru memberikan timbal balik terhadap apa yang dikerjakan oleh anak melalui orang tua, diserta motivasi.

Tidak ada kendala berarti dalam pelaksanaan home learning di minggu-minggu awal pelaksanaanya. Anak belajar seperti biasa di rumah, dan orang tua mengirimkan dokumentasi setelahnya. Berlengsung demikian setiap harinya.

Hanya saja mungkin, sedikit banyak orang tua yang berkeluh bagaimana mengkondisikan anak supaya mau belajar sesuai waktunya, bagaimana menuruti instruksi orang tua, bagaimana menyikapi proses tumbuh kembang anak yang tidak selamanya dan semua anak menjadi anak yang pendiam tapi juga ada beberapa anak yang terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi, dan bertingkah lebih banyak dari pada teman lainnya. Sedikit banyak, justru orang tua menjadi terbuka dan lebih belajar memahami bagaimana posisi guru ketika mengajar di sekolah dengan peluh dan perih, dengan  penuh sabar menanti anak didiknya bertumbuh menjadi lebih baik dan lebih mandiri setiap harinya. Apalagi untuk mereka yang mengajar bagi anak-anak berkebutuhan khusus.

Ah, hidayah Allah memang datang dalam posisi apapun. Dalam kondisi sedang terjangkit bencana seperti ini, selalu ada hikmah yang tersembunyi bagi mereka yang bertafakur dan bersyukur.

Balik ke cerita awal.

Pekan ini menjadi pekan ketiga kami melaksanakan home learning dan teach from home. Rasa rindu melihat tingkah dan lakon anak-anak yang lucu seringkali muncul. Rasa rindu untuk berakting galak agar mereka menjadi disiplin. Rasa rindu bagaimana memeluk mereka ketika badan kecil mereka memanggul tas besar muncul dari balik tangga untuk belajar. Rasa  rindu memeluk mereka ketika pulang dan meminta maaf atas segala khilaf. Rasa rindu menanti perubahan diri, sikap dan pengetahuan mereka yang tentu berproses melalui satu ruang kasih sayang bernama kelas. Tapi ya mau gimana, demi kebaikan semuanya kita harus menahan diri untuk lebih banyak bertafakur di rumah masing-masing, mencegah virus jahat menghinggapi.

Oiya. Sejak tiga hari yang lalu saya kehilangan kabar dua peserta didik saya. Yang satu memang sejak awal tidak terlibat dalam home learning karena orang tuanya berkerja sebagai penjual makanan dan memang tidak memiliki fasilitas memadai untuk dilaksanakan home learning. Terbayang ya, di Jakarta ternyata masih ada yang tidak sberuntung teman-teman yang memiliki gawai canggih untuk komunikasi. Yang satu lagi, orang tua yang biasanya rutin mengirimkan perkembangan belajar setiap harinya, mendadak tidak dapat dihubungi melalui whatsapp. 

Dalam hati kecil saya, saya berpikir, “haduh bagaimana ini? Sementara laporan pelaksanaan home learning kepada pimpinan harus tetap berjalan”.

Saya khawatir. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari kabar melalui SMS dan telepon. Tapi, tidak juga tidak mendapat respon.

Ada apa ya?

                                                                  ***

Alhamdulillah pagi tadi sudah memberi kabar dan mengirim perkembangan belajar anak pagi ini. Juga rapelan dokumentasi belajar anak 3 hari kemarin yang belum terkirim.

Sedikit memecahkan rasa penasaran saya, saya bertanya “pak maaf, tiga hari yang lalu tidak dapat dihubungi, ada apa ya pak?”

“Maaf pak tiga hari yang lalu tidak memberi kabar, kami tidak punya kuota dan juga tidak punya pulsa. Semenjak himbauan pemerintah kepada masyarakat untuk lebih banyak di rumah, pesanan antar jemput ojek online sangat jarang, bahkan pernah beberapa kali dalam satu hari satu orderpun tidak ada, padahal sudah keliling kesana kemari sudah menghabiskan literan bensin juga untuk menjemput rezeki, tapi ya apa mau dikata, belum rezekinya, pak. Sementara itu, ada ataupun tidak ada order, anak-anak dan istri di rumah harus berjumpa dengan nasi walaupun lauk seadanya. Akhirnya saya merelakan anggaran kuota internet untuk kuota perut keluarga di rumah.” Jawabnya melalui jaringan whatsapp pribadi.

Sontak saya terdiam, termenung lalu bepikir, “Ya Allah, ini bagian pembelajaran diri apalagi ini? Aku harus bagaimana?”

Terkadang, kita semua berpikiran pendek “apapun caranya, urusan kita dan kerjaan kita harus selesai”. Tapi kita jarang berpikir, “bagaimana mereka ya?”. Kita juga jarang berpikir “andai saya ada di posisi mereka”.

Mungkin hari ini kita mengeluhkan nasi dengan lauk telor ceplok yang terus berulang setiap harinya mengingat kondisi genting seperti ini. Tapi kita lupa, mungkin ada sebagian besar orang yang menahan perih akibat rasa lapar karena tidak bertemu nasi di sebagian waktunya.

Mungkin hari ini kita mengeluh jenuh di rumah sepanjang hari ditengah kondisi rentannya penularan wabah pendemi corona. Tapi kita lupa, sebagian besar mereka hari-harinya di jalanan karena tidak ada lagi tempat berteduh bernama rumah.

Mungkin hari ini kita mengeluhkan sebagian pendapatan (gaji) kita terpotong untuk dialihkan dalam penanganan wabah corona. Tapi kita lupa, sebagian besar mereka rela berhutang untuk hidup dan menghidupi keluargnya.

Ya, kita terlalu sibuk mengeluhkan yang belum dimiliki sampai lupa untuk mensyukuri yang ada. Kita juga lupa kodrat manusia yang mengemban tugas memanusiakan manusia. Kita juga lupa bahwa manusia diturunkan ke bumi untuk berbuat kebaikan pada alam dan sesama, bukan menjelek-jelekan seolah-seolah tidak punya kekurangan selayak nabi kemudian mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dengan  membodohi manusia lainnya.

Bogor, 2 April 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis