Egi Lupa untuk Melupa

                      via medium.com

Senin, menjadi sesuatu yang memuakkan bagi mereka-mereka yang menemukan neraka kecil bernama tempat kerja.

Begitu juga dengan Egi. Meskipun setiap bulan biaya hidupnya dan empat anggota keluarga lainnya berasal dari penghasilan di tempat kerjanya tersebut, tapi memaki tempat kerjanya sendiri adalah suatu kebiasaan yang ia lakukan ketika dia didera bertubi-tubi tugas dengan batas waktu yang mencekik hampir bersamaan.

Ketika bangun tidur, membuka matanya, yang ia lakukan pertama kali ada mengembuskan napasnya dalam-dalam lalu menggumam, "anjing, udah Senin aja, perasaan Sabtu-Minggu cepet banget, ngehe".

Egi peregangan sedikit lalu beranjak dari kasurnya, seketika terbayang wajah pimpinan visioner dengan sejuta ide tapi tidak manusiawi. Pimpinannya merupakan sosok idealis dan kreatif. Setiap kali pimpinannnya mendapat tugas dinas luar selalu bermunculan ide baru yang diterapkan di tempat kerjanya. Bahkan saking banyaknya ide dan gagasan yang dicetuskan. Ia bahkan jadi korban maki-maki dari belakang para bawahannya.

"Si bengis kampret, tugas satu belum kelar, udah nambah lagi kerjaannya." Cetus salah satu karyawan.

"Iya ya, gak punya perasaan banget," cetus karyawan lainnya.

"Emang sih gaji bulanannya UMR, tapi kalo kaya gini terus bisa stroke gue nih nanggepin keinginan si bos", tanggap si Egi.

Egi sebetulnya merupakan karyawan yang ulet dan gigih. Tugas seabrek-abrek yang diberikan pimpinannya selalu dikerjakan tepat waktu dan baik meskipun dalam proses pengerjaannya selalu dipenuhi keluh dan maki-maki.

Sebelum Egi memilih melamar pekerjaan dengan gaji UMR yang sekarang dia terima, Egi adalah sosok yang bebas merdeka. Dia bekerja serabutan menjadi penulis lepas kolom harian di beberapa surat kabar. Setiap tulisan yang ia terbitkan, kurang lebih bisa untuk makan keluarganya seminggu. Meski dengan penghasilan terbatas, ia merasa bahagia akan hidupnya yang sesuai dengan pemikirannya.

Semenjak Egi bekerja di perusahaan dengan gaji UMR yang ia terima dengan bonus pimpinan yang bengis, ia lupa banyak hal. Ia lupa meluangkan waktunya untuk menengok rindu keluarga. Ia lupa untuk menengok hangat jenaka kawan lamanya yang selama ini menjadi temannya bertumbuh. Bahkan Ia menjadi lupa caranya berdoa dan menengadah pada Tuhan agar hidupnya lebih baik seperti yang lalu seringkali ia minta. Ia bahkan lupa mengasihi sesama seperti yang dulu pernah ia lakukan.

Belakangan Egi menjadi sosok menyedihkan.

Egi memilih menjadi workaholic sampai-sampai ia lupa bahwa tujuan bekerja untuk mengisi perut dan menafkahi keluarga yang ia pikirkan berganti menjadi mengesampingkan keluarga. Egi bahkan membunuh mimpi-mimpinya menjadi orang baik dan bermanfaat karena tuntutan hidup. Egi terlalu sibuk diperhatikan hingga lupa memperhatikan. Ia lupa untuk melupa.

Bogor, 15 Mei 2020

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis