Ayah, Ibu Maaf untuk Segalanya











Pagi tadi, di tengah menyimak bacaan surat al- A'la yang dilantunkan imam di rokaat pertama sholat Id, seketika selintas muncul wajah ibu dan ayah. 

Jika dihitung sejak akil baligh, mungkin sudah 20 kali banyaknya ku sholat idul fitri, tapi baru kali ini wajah keduanya hadir meracau ditengah-tengah sholat.

Terbayang, bahu legam saksi kerja keras ayah sudah sedikit membungkuk. Terlihat pula keriput menghiasi wajah ibu yang menandai semakin menua keduanya.

Seketika, dibalik masker yang menutup mulut hidung, air mata tak bisa saya bendung. Saya menangis sesenggukan. Tetesannya membasahi masker yang ayah saya ingatkan untuk tak luput dibawa ke masjid. 

Saya menangis lirih, takut, satu yang saya khawatirkan, bagaimana jika idul fitri ini jadi lebaran terakhir kami untuk bersama? bagaimana jika idul fitri ini jadi momen tak berulang lagi dikemudian hari? bagaimana jika tak ada lagi kesempatan seoarang anak meminta maaf atas kubangan dosanya terhadap orang tua? bagaimana jika satu diantara kita pergi? 

Saat lebih dewasa, seringkali dalam hati kecil saya menasbihkan diri menjadi makhluk Allah yang paling mencintai kalian. Ditengah gengsi laki-laki mengucap rasa sayang kepada kedua orang tuanya. Nyatanya mendengar segala cerita, keluhmu tentang dunia saja saya tidak sempat. 

Kalian tidak pernah meminta banyak dari saya, tapi sebatas mendoakan keselamatan kalian saja, saya hanya lakukan seremonial di seusai sholat, tidak lebih. 

Kalian tidak pernah meminta banyak dari saya, tapi sebatas memberi satu kecupan di tanganmu  pun tak bisa kupenuhi. 

Padahal ketika anak laki-lakinya terjerembab, bersedih, bahkan dunia seakan-akan jijik untuk mendekat. Satu-satunya yang mendekap adalah kalian. Satu-satunya yang memelihara keyakinan bahwa anak laki-lakinya akan jadi sosok yang lebih baik, hanya kalian.

Seringkali saya terlalu sibuk membahagiakan diri saya sendiri.

Lantas, kapan saya akan membuktikan rasa sayang pada kalian? Saat engkau sudah terlalu tua? Saat engkau sudah sakit-sakitan? Bagaimana jika terlambat? 

Faghfirlii ya Rabb.

Satu hal yang jadi amat saya benci dalam setiap episode hidup saya, waktu tidak bisa menghentikan lajunya. Seiring berjalannya waktu, kalian akan menua. Dan aku selalu sibuk dengan ke-aku-anku, sementara kalian sibuk merindukanku. Betapa seringnya saya mengeluh atas segala kekurangan kalian tapi menyadari kekurangan saya sendiri. Betapa jarangnya saya berterima kasih atas segala perjuangan kalian untuk membesarkan saya hingga saya menjadi diri saya saat ini. 

Ayah, ibu maaf untuk segalanya. Izinkanlah saya menebus dosa yang terlampau banyak; berusaha sekuat tenaga meski takkan mampu mengganti semua kasih kalian; membahagiakan kalian sampai salah satu dari kita dipanggilnya ole-Nya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis