Elang dan Ayam, Dua Sisi Kontradiksi




Pada suatu hari, di sebuah negeri antahberantah tinggalah sebuah Elang yang kokoh dan tangguh. Ia selalu bergerak dan mengepakan sayapnya. Terbang mengikuti arah angin, meliuk-liuk diantara gerak awan, sambil sesekali turun ke daratan memangsa hewan lain untuk dimakan. Tak pernah seharipun ia merasa kelaparan. 

Hal tersebut ternyata menuai cemburu sang Ayam. “Wah si Elang dia mudah sekali mencari makan, andai saja aku bisa terbang selayak dia, pasti hidupku tak sesulit ini, untuk mencari makan saja susah” celetuknya dalam hati.

Sampai tibalah pada suatu hari dimana Si Elang yang lelah seharian terbang, beristirahat tak jauh dari tempat Ayam yang sedang gelisah. Si Ayam rupanya menyadari kehadiran Elang di tersebut. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Si Ayam mendekati Elang dan bertanya “Lang, kamu hebat sekali, bagaimana kamu bisa terbang?”. Si Elang setengah sadar menanggapi “Aku terlahir hebat, siang dan malam ibuku memaksaku terbang, tak perduli hujan dan gersang, dia menempaku hingga seperti ini.” 

“Lang bolehkah engkau mengajariku terbang seperti ibumu mengajarimu?” tanya si Ayam setengah memohon. “Kau serius ingin belajar sepertiku?” tanya Elang balik. “Iyaa, aku lelah hidup seperti ini, mendapatkan makan hanya bergantung pada alam” Jawab si Ayam. “Baiklah jika kau memang serius, temui aku di sini esok pagi saat matahari belum nampak” kata Elang diplomatis. “Haaaah apakah harus sepagi itu?” Tanya si Ayam sambil mengeluh. “Belum mulai, kau sudah mengeluh, alaaah kau ini” Kesal si Elang. “Iyaa maaf, maaf, aku akan bangun lebih pagi dan menemuimu disini Lang, yang penting aku haur bisa terbang” Tekad si Ayam. 

Akhirnya karena hari telah larut, mereka berdua berpisah, si Elang kembali terbang ke rumahnya, dan Si Ayam langsung tidur sesegera mungkin.

Waktu berlalu, malam hari berganti pagi. Elang datang untuk memenuhi keinginan Ayam, mengajarkan Ayam terbang. Ketika Elang tiba, si Ayam masih terlelap dengan mimpi indahnya. Setengah kesal dia bergumam “Ughhh dasar pemalas, dia yang meminta, dia yang mengingkari”. Si Elang mencoba untuk membangunkan Ayam, tetapi selalu gagal. Si Ayam sulit sekali dibangunkan. 
Terlintaslah ide untuk mempercikan air embun pohon kelapa ke muka Ayam. “Preet preet preeet” bunyi percikan air mengenai muka si Ayam. Si Ayam seketika bangun, dan terkaget ternyata Elang sudah siap di depan mukanya. Dengan sedikit tergesa-gesa si Ayam berlari menuju pemandian untuk mencuci muka dan kembali dengan segera menemui si Elang.

“Maaf lang aku tak biasa bangun sepagi ini” sesal si Ayam. 
“Kau ini tidak serius yaaa?” umpat si Elang. 
“Maaf lang, maaf sekali, esok aku berjanji untuk bangun lebih awal” kata si Ayam.
 “Hmm baiklah, kali ini kau kumaafkan, tapi jika kau esok mengulangi, jangan harap kau akan bisa terbang sepertiku.” Jawab si Elang. 

Waktu yang dinanti pun tiba. Si Elang menyuruh Ayam untuk pemanasan sebelum  terbang. “Yam kau pemanasan dulu sana, biar ototmu tidak cedera.” Kata si Elang pada si Ayam.

Si Ayam melakukan pemanasan. Ia merenggangkan kaki, dan sayapnya. Sesekali ini mendongakan kepala sembil menggerakannya ke kanan dan ke kiri. 

“Cukup” kata si Elang yang artinya pemanasannya berhenti.

Di Awal latihan, Elang menyuruh si Ayam untuk berlari secepat mungkin. Ayam menurut saja instruksi si Elang.

Ayam mulai berlari secepat yang ia mampu. Rumput-rumput bergoyang terkena kibasan sayap lari si Ayam. Sampai di suatu pohon ia menghentikan laju larinya. Keringat mulai membahasahi sayap dan badannya. Ia keletihan yang amat sangat.

Namun si Elang merasa bahwa si Ayam belum lari dengan cepat. “Tambahkan kecepatanmu sedikit lagi, maka kau akan bisa terbang.” Kata Si Elang memberi semangat pada si Ayam. “Tambah kecepatan bagaimana? Kakiku sudah mau copot terbawa angin, saking kencangnya aku berlari” kilah si Ayam. 

Karena sedikit gusar akhirnya Si Elang menggertak “Kau harus bisa lari mengejar bayanganku, jika kau ingin terbang.”

Hari demi hari dilalui Si Elang dan Si Ayam dengan latihan-latihan demi satu tujuan bahwa Si Ayam bisa terbang. Hingga tanpa tersadar ia mulai terbang sedikit demi sedikit dan mulai menyamai tingginya Elang terbang.

Setelah Ayam bisa terbang, dia mengalami suatu masalah bahwa dampak setelah terbang dia merasakan lapar yang amat sangat, rasanya seperti terguncang. Ketika di ketinggian dia izin kepada Elang untuk turun sebentar “Lang perutku lapar, aku ingin turun mencari makan.” Kata si Ayam pada Elang.

Tak disangka, turunnya Ayam tak jauh dari kadang Sapi. Ayam melihat Sapi dengan santap sedang memakan makanannya. Si Sapi sedang makan  hasil pemberian majikannya. Si Ayam yang sedang kelaparan meminta izin untuk meminta sedikit bagian makanan si Sapi. Si Sapi yang baik hati pun memberi makanannya.

Si Ayam berfikir bahwa enak sekali menjadi Sapi. Dia tak perlu capek-capek terbang untuk memenuhi rasa laparnya. Cukup diam lalu sekejap makanan diantarkan oleh majikannya. 

Akhirnya si Ayam berkata kepada Elang “Lang aku ingin tinggal disini saja bersama Sapi, sebab disini aku tak perlu lagi capek-capek mencari makan.” Elang yang kesal pun membentak. “Kau tak boleh hanya ingin enaknya saja, jika kau ingin enak, maka kau harus berusaha, bergeraklah” bentak si Elang. Si Ayam tidak menggubris ucapan Elang, dia hanya melenggang pergi untuk menemui Sapi. Tanpa banyak bicara si Elang akhirnya terbang jauh dan takkan pernah menemui Si Ayam lagi.

Hari demi hari dilalui dengan tenang. Perut ayam tak pernah kelaparan. Makanan selalu datang tepat pada waktunya. Tetapi tak disangka, perut Ayam malah semakin membuncit dan besar. Untuk gerak pun sulit sekali. Karena kerjanya hanya tidur dan makan, seperti Sapi.

Waktu berjalan amat lama, si Majikan melihat postur badan si Ayam yang mulai gemuk dan enak untuk disantap. Ada keinginan untuk memotong Si Ayam untuk dijadikan makanan. 

Si Ayam yang sedang tertidur rupanya mendengar niatan si Majikan untuk memotong dirinya. Seketika Ayam panik dan hendak melarikan diri. Dia mencoba lari dan terbang tinggi, tapi tak berhasil. Ia menyadari kini sudah berbeda dari dia yang sebelumnya. Badannya yang tambun tak lagi mampu menopangnya untuk terbang. Sampai pada waktunya ia dipotong oleh Majikannya, untuk dijadikan santapan.

 ***
Setiap insan memiliki kemampuan, setiap insan memiliki hak untuk menjadi besar, dan setiap insan juga memiliki hak atas hidupnya sendiri. Termasuk pilihan untuk sukses karena usahanya, atau sukses karena keadaannya. Hidup adalah perihal tentang perjuangan.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis