Menjaga Ritme Pertemanan

Saya menulis tulisan ini di hari Jumat selepas saya mengajar daring. 

Tepat seminggu yang lalu, saya yang terhitung jarang mengakses akun instagram pribadi kecuali untuk memamerkan kegelisahan dan ketidakgantengan saya, akhirnya membuka akun instagram pribadi saya. FYI, saya punya akun instagram lain yang following saya kebanyakan bercerita tentang hidup sehat (baca: pola hidup supaya langsing), info disabilitas, info lomba menulis, akun-akun ikan hias, dan terakhir akun-akun yang bercerita tentang hidroponik. Dan, akun ini yang sering saya buka daripada akun pribadi saya.

Setelah saya login, saya lihat beberapa postingan teman-teman, ternyata tidak ada yang menarik dan tidak ada yang berubah. Diantara mereka memamerkan kebahagiaan, sebagian lainnya bercerita tentang jalan-jalan. Mungkin memang instagram dirancangan menjadi wadah unjuk kebahagiaan, alias pamer.

Lalu karena saking nganggurnya, saya iseng membuka beberapa instastory teman, kerabat. Saya menemukan akun teman dekat, seorang adik kelas bernama @namirarizkanya sedang update tentang kata-kata motivasi. Saya lupa detailnya.

Cerita sedikit, saya dan Namira terhitung sangat dekat sebetulnya. Kami saling mengenal karena semesta menakdirkan kami menjadi kakak dan adik kelas di universitas yang sama. Lalu hubungan kami semakin intim karena
kami pernah dan mungkin masih (kalo dianggep) dalam satu komunitas kerelawanan yang sama. Pernah menjadi pengurus dalam jangka waktu periode yang sama. Komunitas membuat kami menjadi banyak bersua. Bahkan seringkali sampai lupa waktu. 

Singkat cerita, semenjak 2017 rasanya jarang sekali adanya pertemuan, bahkan untuk bertukar kabarpun bisa dihitung jari. 

Seingat saya, kami berjumpa setahun yang lalu. Itupun dalam event-event tertentu seperti acara pernikahan. Jarang sekali kami saling menyempatkan untuk bertemu sekadar berbincang-bincang hangat, menanyakan kabar.

Sampai pada Jumat lalu, saya mengirim pesan langsung  di instagram untuk sekadar menghirup kopi sore di daerah Bogor. Kebetulan pula hari itu Nami juga sudah membuat janji bertemu Rizky, yang juga adik kelas saya waktu di kampus dulu.

Wah, rezeki pikir saya bisa bersilaturahmi dengan dua orang sekaligus. Sebuah dadakan yang sangat faedah.

Disepakati, selepas Ashar kita bertemu di sebuah kedai di bilangan kota Bogor. Sengaja saya pesan pada Nami supaya bisa bercengkerama di sebuah tempat dengan nuansa banyak pohon. Menghilangkan penat dalih saya.

Saya tiba pukul 17.00 dan Nami sudah datang lebih dulu rupanya. Nami bersama Ais, sahabatnya sejak sekolah duduk lesehan di bagian dalam kedai. Saya menyapa dan duduk agak kikuk sebetulnya. Entah kikuk karena bingung akan mengawali pertemuan seperti atau mungkin kikuk karena celana saya sedikit robek bagian paha dan khawatir mereka nafsu melihat paha saya yang ditumbuhi bulu-bulu tipis. Hehehehe.

Saya menyapa dan seperti pada umumnya, obrolan selalu diawali basa-basi yang tidak terlalu basi. Perihal kabar dan kesibukan jadi topik yang selalu aktual saya rasa untuk dibahas. Tapi, belum terucap, Namira sudah mewanti-wanti untuk tidak membahas skripsi dan tidak membahas masalah nikah hahahaha.

Untuk topik yang kedua saya tidak berani tanya lebih dalam alasannya kenapa. Saya khawatir seketika merubah mood dan tidak meninggalkan kesan baik di akhir perjumpaan.

Entah, sore itu saya lepas sekali. Kami berbincang banyak hal yang ringan juga diselingi obrolan berat menjurus menyindir. Perihal komunitas pastinya hehehe.

Dari perbincangan itu, saya harus jujur, saya rindu sekali momen sore itu. Kami bersepakat bahwa semakin dewasa, mencari teman sefrekuensi untuk sekadar bertukar cerita itu tidak mudah. Satu sama lain dari kita punya kehidupan sendiri dan momen sore bisa dikatakan sebagai momen mahal.

Dari perbincangan kami berempat, saya jadi tahu bahwa Nami dan Ais sudah bersahabat 12 tahun lamanya sejak sama-sama di bangku SMP. Satu sama lain sudah saling mengerti mesti pasang surut kedekatan tidak bisa dipungkiri. 

Mereka bilang, mereka bertahan karena mereka saling menyempatkan, bukan menyempitkan. Mereka menjaga intensitas pertemuan dengan sangat baik. Mereka saling memberi kasih dan perhatian satu sama lain. Dan saya kagum.

Entah, saya kagum sekaligus merasa tertampar sekali. Perihal menjaga hubungan pertemanan, saya tidak sehandal mereka.

Dulu sekali, saya punya sahabat kecil, kami saling mengenal karena rumah kami satu gang di sebuah perumahan. Seberjalannya waktu, Rizal pergi lebih dulu memilih menemani ibunya di Ciamis dan saya putus komunikasi. Anggi, sejak lulus SD terpaksa harus tinggal di Purwokerto karena ayahnya kena PHK di Jakarta dan lebih memilih bekerja di kampung halaman dan juga putus komunikasi. Ihsan, sudah lebih dulu meninggalkan kami selama-lamamya karena mengidap kanker syaraf.

Waktu di sekolah dasar, saya juga punya beberapa teman dekat bahkan bisa dikatakan sebagai sahabat. Lucky, Iping, Noval, Habibah, Melly, Gusniawati, Tading jadi nama-nama yang bisa dikatakan memiliki kedekatan khusus dengan saya. Meskipun semenjak lulus SD, satu persatu sibuk dengan dunianya, kehilangan kontak dan kehilangan kabar.

Hanya Rasyid teman SD yang sampai saat ini masih sering berkomunikasi karena memang sering curhat dan ngopi tipis-tipis di rumah saya.

Ketika SMP, saya juga punya kesan tersendiri dengan beberapa kawan. Tapi ya seperti de javu, seberjalannya waktu, tiap-tiap dari kita hilang ditelan waktu. Begitu juga teman SMA. Begitu juga sahabat waktu kuliah.

Sampai-sampai saya berpikiran bahwa, rasa-rasanya siap atau tidak siap, suka atau tidak suka teman baik akan datang dan pergi pada waktunya.

Karena satu sama lain berubah menjadi sombong? Saya rasa bukan itu alasannya.

Saya rasa karena memang sejak awal kita tidak memprioritaskan hubungan pertemanan yang sudah dibangun sedemikian rupa. Tidak menyempatkan di kala sempit. Sampai pada waktunya, satu persatu pergi dengan kegelisahannya sendiri. Mulai dari hilang kabar sampai pada titik akan sungkan untuk menanyakan kabar dan memberi kabar.

Padahal jika dipikir, meski tidak selalu indah, mereka-mereka yang telah hadir di dirimu sudah memberi banyak arti. Paling tidak, mereka menemuimu tatkala sedang risau sendiri. Paling tidak, mereka pernah patungan sekedar membeli minuman keras tatkala ingin mabuk. Paling tidak, mereka pernah menjenguk orang tuamu tatkala orang tuamu tengah tidak berdaya. Paling tidak, ah banyak lah.

Sekarang, mari kembali mengingat kesan dan kebaikan teman lamamu. Temui mereka.
Memberi waktu untuk merawat hubungan. Memberi waktu untuk menjaga pertemanan yang sudah dibangun sedemikian baik. 

Sekarang, tidak perlu berpikiran bahwa teman lama mungkin sudah tidak terkait. Tapi, berpikirlah bahwa menemui mereka untuk berterima kasih atas apa yang sudah mereka beri. Tidak melulu tentang uang. Tapi perihal waktu yang sudah diisi dengan banyak kebaikan dan kebahagiaan.

Bogor, 20 November 2020











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis