Sekelumit Manusia Beruntung

 

Terngiang betul ucapan ibu kala berceloteh tentangku di depan sanak saudaranya yang tak lain adalah bude pakde. 

"Denny itu tidak pintar, hanya beruntung", ujarnya. 

Aku yang merasa telah bersusah payah untuk menyelesaikan studi strata 1, dengan logika sumbu pendek seketika tersinggung dengan ucapan ibu ketika itu. Terngiang dan terngiang sampai terpikir, "apa aku kurang cukup membanggakan bagi kedua orang tuaku?"

Sebulan, dua bulan, bahkan hingga enam bulan berlalu menjalani getir dan perihnya hidup menjadi orang dewasa, rasa-rasanya ucapan ibuku benar adanya. Betapa berulangkali diuji dan dicambuk oleh kehidupan dan betapa berungkali juga Allah bantu dan selamatkan. Bukan karena kepintaran, tapi semata-mata karena keberuntungan yang maha kuasa beri.

Jika boleh jujur, setiap fase sulit yang saya hadapi, saya merasa tidak berjuang sedemikian adanya untuk menyelesaikannya. Saya juga tidak merasa berupaya sampai-sampai "banting tulang". Berangkat pagi, pulang malam bukan indikator bahwa saya bekerja keras, bukan pula indicator bahwa saya pintar. Berangkat pagi dan pulang malam adalah bentuk gengsi laki-laki bahwa tugasnya harus selesai, selarut apapun, seburuk apapun hasil pekerjaan saya.

Barangkali kata yang tepat untuk menggambarkan apa-apa yang telah saya lakukan adalah "lakukan sebisa yang saya bisa". Perihal hasil, jangan ditanya. Saya selalu berlindung dibalik kata “muda dan masih belajar”. Tidak baik memang. Tapi begitu adanya.

Jika boleh jujur, saya merasa betul-betul berupaya adalah ketika menengadah dalam berdoa. Doa nabi Musa as ketika meminta kemudahan urusan jadi doa langganan yang tak luput dalam setiap ritual peribadatan bahkan dalam hal remeh ketika saya akan bermain futsal. Barangkali keberuntungan saya berasal dari doa itu.

Congkak memang jika saya menganggap keberuntungan adalah bentuk pengabulan doa bagi seorang pendosa seperti saya. Tapi saya rasa keberuntungan adalah bentuk rasa syukur atas kebaikan Tuhan yang berulang kali menolong hambanya yang lemah dan tidak berdaya seperti saya ini.

Berbicara tentang keberuntungan, saya ingin cerita sedikit perihal bagaimana baru-baru ini saya dihinggapi keberuntungan yang luar biasa.

Belum lama ini saya mengalami kecelakaan motor. Motor Supra kelahiran 2010 saya yang melaju dengan kecepatan diatas 60 km/jam di tikungan UI selepas jalan Margonda harus ditabrak dari belakang oleh motor besar Nmax. Motor saya terpental. Saya berguling-guling di aspal selayak pembalap liar. Kedua lutut mengucurkan darah dan pergelangan tangan kanan masih bengkak dan belum bisa digerakan hingga tulisan ini diterbitkan. 

 

Banyak orang menaruh iba dan menganggap bahwa itu adalah musibah. Tapi lain hal dengan saya. Saya justru berpikir bahwa ini adalah bentuk keberuntungan lain bagi saya. Saya ingat jelas betapa buruknya saya terjatuh. Tapi saya juga ingat betapa seketika banyak pertolongan Allah kala itu. Entah berbentuk malaikat yang meminggirkan saya ke tepi jalan. Entah berbentuk malaikat yang membilas luka dan memberikan obat oles bagi luka saya. Entah berbentuk malaikat yang menjemput saya dan mengendarai motor saya ke tempat yang lebih aman. Entah berbentuk malaikat yang meminjamkan uang sebesar dua ratus ribu rupiah sebagai ‘pegangan’ untuk pulang ke rumah dikala dompet saya sempat hilang. Entah berbentuk malaikat yang mengantar saya ke tempat urut. Entah berbentuk malaikat yang mendoakan kebaikan dan kesembuhan saya melalui whatsapp. Entah berbentuk malaikat jujur yang mengembalikan dompet saya utuh bersama isi-isinya.

Mungkin benar kata ibu saya. Saya hanya sekelumit manusia beruntung, bukan pintar. Mungkin juga benar, bahwa perkataan ibu adalah doa. Perkataan ibu 6 bulan lalu, merupakan jalan doa bagi keberuntungan saya selamanya.

Bogor, 13 Agustus 2020

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                                                  

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis