Berisyarat, Berbicara dalam diam



 Isyarat via www.goodnewsfromindonesia.id
Manusia hidup tidak dapat dilepaskan dengan berbahasa dan berkomunikasi. Sesuai dengan fungsinya, bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh seseorang dalam  hubungannya dengan orang lain. Dengan kata lain, bahasa merupakan alat untuk berinteraksi.

Dalam pergulatannya. Ada sebagian manusia yang dalam tumbuh kembangnya terlahir mengalami kesukaran dalam pemerolehan bahasa, diantaranya adalah peserta didik tunarungu. Tunarungu adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam pendengaran, sehingga mereka mengalami kemiskinan dalam berbahasa. Akibat dari kemiskinan dalam berbahasa ini, peserta didik tunarungu mengalami hambatan dalam persepsi auditif, kognisi, vokasional, emosi, interaksi sosial serta permasalahan dalam pendidikan. 

Kondisi ketunarunguan menjadikan seseorang secara langsung menjadi tuna bahasa. Akibat dari tidak mengalami masa peniruan auditori  setelah masa meraban di usia dini, proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual saja. Oleh karena itu peserta didik tunarungu guna memperoleh bahasa, ia memaksimalkan fungsi penglihatan, atau melalui taktil kinestetik. Hal tersebut berdampak pada terjadinya perbedaan dalam mempersepsi dan keterlambatan dalam mencerna informasi yang didapat melalui pengalaman melihat. Oleh karena itu agar tunarungu dapat berkembang bahasanya maka perlu intervensi dan layanan khusus. 

Bentuk intervensi dan layanan khusus yang dibutuhkan tunarungu dalam pengembangan bahasa guna melakukan komunikasi diantaranya adalah pendekatan komunikasi total (komtal). Komtal merupakan konsep yang bertujuan mencapai komunikasi yang efektif antara sesama kaum tuli ataupun kaum dengan masyarakat menggunakan media berbicara, membaca bibir, mendengar, dan berisyarat terpadu.

Implementasi komtal dalam komunikasi bagi kaum tuli ditopang oleh hal yang paling penting yakni isyarat. Isyarat dipahami sebagai media komunikasi dengan dan diantara kaum tuli berupa gerakan tangan yang disusun secara sistematis untuk melambangkan bahasa lisan.
Perkembangan Isyarat di Indonesia amat menarik untuk di telaah lebih dalam. Di dalam buku Sistem Isyarat Bahasa Indonesia terbitan DEPDIKNAS tercatat bahwa perintisan penerapan komunikasi total (Isyarat – ujaran) dimulai pada tahun 1978 oleh SLB-B Zinnia di Jakarta, dan oleh SLB-B Karya Mulya di Surabaya tahun 1981. Ketika itu SLB-B Zinnia masih menggunakan isyarat spontan (alami). Kemudian penggunaannya, isyarat berkembang dengan mengikuti American Sign Languange (ASL).

Cikal bakal SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) berasal dari munculnya Pedoman Isyarat Bahasa Indonesia yang disusun oleh SLB-B Karya Mulia pada tahun 1989, kemudian muncul Kamus Dasar Bahasa Isyarat Indonesia yang disusun oleh SLB-B Zinnia pada tahun 1990, dan pada tahun yang sama KKPLB yang berkedudukan di IKIP Jakarta menghasilkan juga Kamus Isyarat yang didasarkan pada isyarat yang berkembang di sebelas lokasi di Indonesia yang selanjutnya disebut isyarat lokal, menyerap isyarat yang berkembang di negara lain disebut isyarat serapan, menemukan isyarat baru pda saat uji coba yang selanjutnya disebut isyarat temuan, dan isyarat tempaan yaitu isyarat yang ditempa oleh KKPLB sendiri. 

Pada tahun 1993 Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan berupaya untuk memadukan hasil karya ketiga lembaga tersebut dan berhasil menyusun rancanagan Kamus Isyarat Bahasa Indonesia. Kemudian di tahun itu pula, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal ini Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, mengambil kebijakan berupa pemaduan keempat hasil karya tersebut untuk dibakukan sebegai Sistem Isyarat Nasional yang kini masih digunakan dan dikenal dengan nama Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI).

Seiring dengan sejalannya waktu. isyarat mengalami pergolakan dan pemahaman yang dinamis dari hari ke hari, terutama di kalangan kaum tuli dan pemerhati kaum tuli. Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) yang telah lama melekat oleh kaum tuli dirasa sulit digunakan dalam komunikasi sehari-hari kaum tuli, karena penerapan kosakata yang tidak sesuai dengan aspirasi dan alamiahnya kaum tuli, terlebih penerapan bahasa yang baku mewakili sintaksi bahasa Indonesia yang paling banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia yang mendengar membuat kesulitan kaum tuli dalam berkomunikasi. kemudian SIBI dirasa oleh kaum tuli ditemukan pengaruh alami, budaya, dan Isyarat tunarungu dari luar negeri (ASL) yang sulit dimengerti sehingga dirasa sulit oleh kaum tuli untuk berkomunikasi.  (www.gerkatin.com, 2014)

Berbeda dengan SiBI, Bahasa Isyarat Indonesia  (BISINDO) yang mulai digaungkan oleh kaum tuli dan aktivis pemerhati kaum tuli, BISINDO merupakan bahasa isyarat yang berasal dari bahasa alamiah kaum tuli yang dengan mudah dapat digunakan dalam pergaulan isyarat kaum tuli sehari-hari. BISINDO dirasa lebih mudah dipahami karena satu isyarat melambangkan satu konsep, artinya tidak terdapat isyarat imbuhan atau bentukan selayaknya penggunaan bahasa Indonesia yang dibakukan (KBBI). 

 

Sebagai contoh adalah penggunaan isyarat untuk kata “pengangguran”. SIBI menggunakan tiga gerakan yang mengeja “peng-anggur-an”. Disini terdapat kata anggur yang diisyaratkan layaknya buah anggur. Padahal tidak ada hubungan kata anggur dan pengangguran, karena anggur adalah nama buah sedangkan pengangguran berarti tidak punya pekerjaan. Sedangkan dalam Bisindo, pengangguran diisyaratkan dengan mengepalkan satu tangan dan mengetuknya ke bagian bawah pipi sebanyak dua kali yang berarti tidak memiliki kegiatan yang dilakukan atau tidak memiliki pekerjaan. (www.solider.id, 2015)

Saat ini yang menjadi permasalahan kaum tuli adalah masyarakat yang berada di sekitar kaum tuli sebagian besar belum banyak tahu tentang bahasa isyarat dan belum perlu menggunakannya. Keberadaan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) belum begitu meluas dalam masyarakat Indonesia. Dengan BISINDO, kaum tuli dapat berkomunikasi dengan lancar dan nyaman. Diharapkan adanya pengertian dan dukungan dari pemerintah maupun masyarakat Indonesia bagi keberadaan BISINDO sebagai pilihan pengguna bahasa isyarat. Salah satu perjuangan disabilitas terletak pada pengakuan akan keberadaan kaum tuli dan BISINDO-nya.

Batas Bahasaku adalah Batas Duniaku – Ludwig Wedgeinstein

















Daftar bacaan:
Kamus Sistem Isyarat Bahasa Indonesia. 2000. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional.
gerkatin.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Belajar dari Surat Kabar