Catatan Seorang Relawan #2
Pengalaman pertama di selatan Jakarta amat menamparku.
Menampar untuk menjalani fungsi sosial sebagai manusia, memberi manfaat bagi
manusia lainnya.
Pukul 06.30 kami satu persatu tiba di titik kumpul, halte
transjakarta Tosari. Di Hari itu kami
mendapat kesempatan untuk membantu teman-teman disabilitas dari Jakarta Barier
Free Tourism (JBFT). Menurut pengamatan saya, JBFT itu kumpulan dari beberapa kekhususan
disabilitas, seperti tunanetra, tunarungu, hambatan fisik, dan juga pengguna
kursi roda.
Mereka berkumpul untuk satu tujuan, menginginkan fasilitas
umum di Jakarta yang ramah bagi hak-hak disabilitas. Selama ini mereka merasa
jalanan Jakarta amat buas bagi mereka. Ketika mereka beraktivitas seperti ke
kantor, ke mall, mereka selalu dihantui rasa takut. Tidak ada jalanan untuk
kursi roda, kala itu. Tunanetra kesulitan untuk berpindah dari satu tempat ke
satu tempat secara mandiri. Tunarungu sering kali kehilangan arah ketika sedang
berpergian dan tidak tahu sedang di bagian bumi mana.
Setelah saling berkenalan dan berbincang kesana kemari, saya
merasa salut dengan semangat teman-teman JBFT. Mereka dengan keterbatasan yang
ada, menolak untuk tidak berdaya, menolak untuk pasrah dengan ketidakadilan
pemangku kebijakan negeri ini, yang menomorsekiankan keberadaan mereka. Tujuannya mereka hanya satu, merdeka di negeri
dan kaki sendiri dengan cara hidup mandiri tanpa belas kasihan siapapun, kecuali
tuhan.
Satu sosok yang amat menginspirasi saya, adalah bu Cucu. Dalam
penglihatan saya, Bu Cucu mengalami hambatan fisik di kaki, sehingga terpaksa
menggunakan kursi roda dalam menunjang aktivitasnya.
Jiwa kerelawanan dari rekan di komunitas BRAVO secara langsung
mengetuk untuk menawarkan membantu mendorong kursi roda beliau ketika acara
sedang berlangsung. Tapi….
“Terima kasih, Gapapa biar saya sendiri saja,” jawab beliau
menolak secara halus. Kamipun menghargai keputusan beliau.
Jika ditelaah, keputusan tersebut bukan tanpa alasan. Beliau
memang ingin merasakan jalanan buas Jakarta, lalu menyampaikan aspirasi pada
yang memiliki kebijakan. Agar perubahan cepat dikehendaki. Disabilitas
merasakan manfaat. Kebetulan, hari itu kami tidak menyangka jika pak Jokowi yang
kala itu masih berstatus gubernur DKI Jakarta turun serta merasakan kegundahan
disabilitas.
Sambil mengayuh kursi roda, cas cis cus kata demi kata diceritakan
bu Cucu kepada pak Jokowi tentang kondisi Jakarta yang belum ramah disabilitas.
Pak Jokowi juga sempat merasakan bagaimana mendorong kursi roda di jalan khusus
pedestrian (pejalan kaki) yang sedang rusak, bahkan juga di beberapa sisi
dipenuhi pedagang.
Lalu apa tugas relawan BRAVO saat itu?
Kami membantu mendampingi disabilitas tunanetra yang juga
sedang merasakan jalanan Jakarta. Mendampingi artinya tidak serta merta selalu
menggandeng ya. Teman-teman disabilitas tunanetra merasakan berjalan menuju
lokasi demi lokasi secara mandiri. Tugas kami mengantisipasi jika di sekitar
ada area berbahaya dan membantu menceritakan keadaan di sekitar tempat
kegiatan.
“Empat langkah di kanan bapak ada lift yang bisa digunakan untuk
ke halte Tosari, kita kesana yuk pak” ajak salah seorang relawan BRAVO. Akhirnya
relawan bravo masuk lift bersama teman-teman tunanetra.
“Oh ada liftnya yaa mas, bagus juga, tapi kok gak ada
suaranya yaa, nanti kalo besok-besok saya kesini sendirian terus salah pencet
dari tujuan awal pengen ke lantai 2 malah ke lantai 9, dari lantai 9 malah
turun ke lantai 1, gitu teruus, gimana yaaa,” keluh salah seorang tunanetra
yang saya lupa namanya.
“Yaa, hitung-hitung ngerasain wahana dufan pak,” jawab
Gultom singkat. Semuanya terbelalak tertawa mendengar celetukan Gultom.
“Duh gak kebayang deh kalau saya ditinggal disini sendiri,
kayaknya gak tau jalan untuk pulang, soalnya gak ada guiding block (re: ubin
pemandu) seperti di luar negeri,” keluh Tunanetra pada relawan.
Kita turun dari lift, berjalan sedikit menuju halte bus
transjakarta yang memang berada di tengah-tengah jalan Thamrin. Dulu, untuk
menaiki transjakarta kita hanya perlu membayar Rp. 3.500,00 secara tunai di
kasir lalu mendapat tiket dan dengan mudah menuju arah tapping memasuki halte.
Hal itu tidak mudah untuk teman-teman tunanetra yang baru
memiliki pengalaman sekali dengan kondisi halte yang belum dilengakapi ubin
pemandu.
“Kemana saya harus menggerakkan tongkat untuk mendapatkan
tiket? Kemana saya bisa menemui petugas, untuk membantu saya ke kasir? Sesulit inikah
menikmati sesuatu yang dianggap
sederhana oleh orang pada umumnya?” tanya mereka dalam hati.
Halte transjakarta Tosari sangat sesak hari itu. Dipenuhi
belasan disabilitas pengguna kursi roda, disabilitas tunanetra, disabilitas
tunarungu, relawan BRAVO yang juga berjumlah belasan, dan juga awak media yang
berkerumun akibat kehadiran pak Jokowi kala itu.
Memang ya, hidup itu simple, yang buat sulit itu eksistensi
dan popularitas. Pun dengan hari itu.
Setelah berdiskusi, kami memutuskan untuk pengguna kursi
roda masuk ke Tranjakarta terlebih dulu ditemani beberapa relawan. Satu transjakarta
bisa muat untuk tiga sampai empat kursi roda dalam sekali perjalanan. Tujuan
kami ke Kota Tua, Jakarta Pusat.
Apakah tujuan kami ke Kota Tua untuk berwisata? Tentu tidak,
kami kesana untuk melihat kemudahan berwisata menuju Kota Tua bagi disabilitas,
walaupun mata kami juga tercerahkan dengan bangunan-bangunan tua yang berada di
sekitarnya.
Ketika pengguna kursi roda akan masuk ke dalam transjakarta,
di depan mata terjadi sebuah masalah. Jarak antara halte dengan pintu bus
terlalu jauh, diperkirakan sekitar 20 sentimeter, terlalu jauh memang. Akhirnya
kami para relawan dan petugas berinsiatif untuk memisahkan disabilitas dengan
kursi rodanya dengan cara mengangkat dan menggendong disabilitas. Berat memang
tapi demi disabilitas, tak apalah.
Masalah juga tidak berhenti disitu, dulu pintu bus
transjakarta masih menggunakan pintu otomatis dengan durasi pintu terbuka yang relatif
lumayan cepat. Dengan terpaksa, ada relawan yang bertugas menahan pintu supaya
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Sudah selesai masalahnya?
Belum, di dalam bus ternyata dipenuhi sesak oleh penumpang
lain yang mungkin juga bertujuan ke Kota Tua untuk berwisata. Dengan terpaksa,
kami mengingatkan penumpang lain yang sudah terlanjur duduk di kursi prioritas
untuk bangun memberikan hak bangku tersebut pada disabilitas. Dengan muka sinis
mereka menggerutu dalam hati. Saya juga sebetulnya takut kena damprat juga
waktu itu. Tapi tak apalah, sekalian memberi penyadaran bagi mereka bahwa kursi
prioritas memang selayaknya digunakan bagi yang berhak.
Bus melaju dengan kecepatan sedang di jalanan Jakarta yang
tidak terlalu padat pada hari itu. Sekitar tiga puluh menit kendaraan mengantar
kami ke halte Jakarta Kota (ralat jika saya salah ya, saya lupa nama haltenya,
hehe). Setelah sampai, dengan
menggunakan gendong-angkut seperti di Tosari kami relawan BRAVO menurunkan
pengguna kursi roda dari bus transjakarta ke halte. Untuk disabilitas tunanetra,
kami memberi tahu jarak antara bus dan halte supaya mereka bisa mengira-mengira
seberapa besar mereka harus melangkahkan kaki.
Kami melihat medan
halte transjakarta saat itu, dan lumayan menguras tenaga. Dari titik poin
penurunan menuju titik poin halte terdekat dengan tempat wisata Kota Tua itu
berjarak sekitar seratus meter dengan akses turunan curam, lalu terowongan
panjang yang di sisi-sisinya dipenuhi keramaian pedagang dan beberapa pengamen
dengan lagu-lagu Koes Ploes di salah satu sisi. Lalu tanjakan kembali sebelum
akhirnya sampai di titik tujuan.
Kami bertanya pada petugas, “Pak ke Kota Tua jalannya
gimana?”
Kami bertanya bukan tanpa alasan, karena ternyata memang
tidak ada akses jalan dari halte menuju Kota Tua. Satu-satunya cara adalah
menggendong paksa pengguna kursi roda dari halte transjakarta yang memiliki
tinggi satu meter lebih ke jalan raya, satu persatu. Untungnya para petugas
juga bertanggungjawab membantu, terlepas memang itu tugasnya. Hmm
Setelah semua turun, lalu kami membantu mengarahkan
disabilitas ke tempat wisata. Kurang lebih kami berjalan sekitar tiga ratus
meter, dengan keadaan siang hari di Jakarta Pusat yang amat terik kala itu.
Akhirnya sampai di tujuan. Fyuuuh semoga Tuhan membalas
apa-apa yang telah kita lakukan, dengan yang baik.
Untuk jadi peduli dan
peka, cukuplah menjadi manusia. Manusia yang merasakan apa yang mereka rasakan.
Merasakan kegundahan siang dan malam mereka, ditemani buasnya jalan Jakarta.
Untuk memperbaiki redaksional dalam tulisan sederhana ini, mohon memberi komentar di kolom komentar yaa.
Komentar
Posting Komentar