Catatan Seorang Relawan #1

 
Hingga waktu berkata 'pantas', maka perpisahan tak lagi berbuah tangisan. Meski perpisahan tak pernah terasa mudah.

Momen hari ini, hari-hari menjelang perpisahan menjadi salah satu momok menakutkan yang selalu berulang bagi saya. Sebetulnya jika bisa memilih, rasanya tak usahlah ada hari perpisahan, dan tak usahlah ada rasa sedih di hari-hari perpisahan. Tapi Allah sudah menciptakan itu, maka nikmatilah.

Dulu, momen enam tahun bersama sahabat kecil waktu di sekolah dasar, lalu berpisah selepas pengumuman ujian nasional, menciptakan rasa benci tapi juga rindu.

Begitu juga momen perpisahan dengan sahabat 'nakal' ketika di SMP dan SMA. Bagaimana sama-sama berproses menjadi remaja tanggung yang ingin mencoba banyak hal sampai melanggar norma apapun yang ada di muka bumi, hingga seringkali juga merasakan kebersamaan dan kebahagiaan ketika berseberangan dengan orang tua terkait bagaimana harus bersikap. Lalu diujung waktu harus dipisahkan dalam sebuah momen "Pelepasan bla bla bla". Pun menciptakan rasa benci rapi juga rindu. 

Jika boleh jujur, aku benci menjadi dewasa, benci harus memilih pilihan-pilihan bahagia yang harus dengan terpaksa disisihkan demi menjadi 'manusia' yang seutuhnya.

Termasuk memilih untuk tidak lagi membersamai teman-teman baik di Timur Jakarta sana sebagai pengurus dalam komunitas sosial BRAVO FOR DISABILITIES.  Juga memilih sebagai relawan seperti di awal keberadaan saya, setelah dipikir secara mendalam, hanya itu tujuan saya.

Pilihan untuk tidak membersamai setelah enam tahun bersama, percayalah itu tentu bukan pilihan yang mudah bagi saya, sahabatku, teman-teman komunitas.

Jika boleh mengutip salah satu lirik lagu berjudul "Rumah" dari musisi yang akhir-akhir ini mengisi playlist winamp saya, Fiersa Besari. Untuk menambah kesenduan, saya rasa cocok.

[Verse 1]
Ratapanmu mengiringi kepergian kali ini
Sunggu kubenci tinggalkan tempat kita rajut mimpi

[Pre-Chorus]
Bersabarlah sejenak

[Chorus]
Kita hanya berjarak, namun bukan berpisah
Bentangan kilometer, untukmu, 'kan kutempuh
Engkau adalah rumah, tempat yang paling indah
Di pelukanmu, Sayang, aku akan pulang

[Verse 2]
Sekantong rindu bekalku menemani perjalanan
Di kejauhan, masihkah aku hiasi benakmu?

[Pre-Chorus]
Jika lelah, ingatlah

[Chorus]
Kita hanya berjarak, namun bukan berpisah
Bentangan kilometer, untukmu, 'kan kutempuh
Engkau adalah rumah, tempat yang paling indah
Di pelukanmu, Sayang, aku akan pulang

[Refrain]
Jariku 'kan pulang pada genggamanmu
Bibirku 'kan pulang pada keningmu
Tubuhku 'kan pulang pada dekapanmu
Sejauh apa pun kita, hatiku di sebelahmu

Jariku 'kan pulang pada genggamanmu
Bibirku 'kan pulang pada keningmu
Tubuhku 'kan pulang pada dekapanmu
Sejauh apa pun kita, hatiku tertinggal di sebelahmu.

                                                                              ***

Jujur, di masa-masa sebelum saya memilih menjadi bagian dari komunitas, saya adalah pribadi yang amat kacau. Hidup saya amat berorientasi dengan uang, bahkan juga sempat hanya memiliki cita-cita hidup bergelimang harta. Amat primif memang pemikiran saya dulu.

Saya juga pribadi yang amat egois dan pembangkang. Terpaksa hidup di lingkungan yang dinamis, dan heterogen di bilangan Citayam. Memaksa saya untuk seringkali baku hantam untuk mempertahankan ego saya. Bahkan juga hampir terbenam dengan benda-benda yang dilarang, karena tergiur kebahagiaan semu yang ditawarkan teman-teman sepergaulan.

Perilaku saya di kampus juga saya rasa tak ada beda. Sempat mangkir dari beberapa aturan ketika ospek. Berangkat ke kampus hanya bertujuan untuk 'nongkrong', bertemu teman-teman sepemikiran yang hanya hidup untuk hura-hura, yang tak sampai berpikir akan mati seperti apa. Bahkan di satu titik juga sempat melawan agama, sering mencaci mahasiswa lain yang hendak melangkahkan kaki ke rumah Allah. Sengaja melagukan lagu Slank dengan keras ketika Adzan. Hmmm sangat barbar memang, saya ketika remaja.

Tapi di Bravo, saya menemukan sesuatu yang beda.

Jujur, pertama kali pengalaman ikut BRAVO justru malah pada momen yang amat menetukan. Ya, momen rapat kerja (RAKER) bravo. Rapat kerja (RAKER) Bravo merupakan momen penting yang dilaksanakan dua tahun sekali setiap satu periode. Tujuannya tak lain untuk memperbaiki tubuh komunitas dalam memberikan yang terbaik bagi teman-teman disabilitas. Lalu juga menentukan orang-orang baik hati yang kelak akan merelakan waktu, tenaga, pemikiran bahkan uang dengan menjadi pengurus.

Meskipun jadi momen yang amat mentukan, justru nurani saya belum terketuk. Bahkan seringkali saya juga hadir dengan terkantuk-kantuk, karena tak paham sedang berada di kehidupan seperti apa.

Saya hanya 'ikut-ikutan' karena beberapa sahabat ikut bergabung dalam komunitas ini. Kala itu saya rasa sahabat-sahabat saya juga menjadi sosok munafik yang pura-pura tertarik dengan proyek akhirat berbentuk komunitas bernama "BRAVO FOR DISABILITIES".

Bahkan ketika raker berlangsung di anjungan NTB, Taman Mini Indonesia Indah, saya malah menyempatkan untuk berkungjung ke rumah salah satu teman di Bekasi, saking merasa kegiatan itu tidak penting-penting amat.

Lalu, ketika sedang bercengkerama di rumah salah satu teman, ada telepon berdering untuk teman saya tersebut. Seusai menelepon, dia bercerita bahwa ada tawaran untuk menjadi bagian dari pengurus di periode komunitas bravo for disabilities selanjutnya. Tanpa berpikir panjang, dia mengiyakan dan memilih untuk menjadi bagian dari divisi humas. Sialnya saya yang tidak tahu apa-apa juga mengiyakan saja untuk bergabung ke dalam tim humas. Padahal jujur saya tidak tahu apa yang harus saya kerjakan di tim humas. Jalani saja dululah, pikir saya begitu.

Di awal-awal periode saya di kepengurusan, saya memilih untuk menjadi pengamat yang baik. Ketika ada kegiatan, bang Bery selaku koordinator tim humas tidak terlalu banyak mengajak aktif saya. Justru Mumu dan Bedul yang sangat aktif dan antusias mengikuti setiap kegiatan komunitas.

Sampai satu ketika, sahabat saya satu angkatan dan satu kepengurusan ketika itu, Ilham dengan bicara yang saya rasa amat menampar saya menelpon dan bilang gini "Lo pengurus kan Den? Nama lo ada di kepengurusan kan? Bantuin komunitas anj****, gak ada pedulinya amat sih ama temen. Besok gue tunggu jam 6 di BNI".

Saya dengan polos dan pura-pura tidak tahu malah balas gini, "Emang ada acara am? dimana? hehehe". Ilham setengah kesal langsung menutup telepon.

Akhirnya setelah sekian lama di kepengurusan, saya terlibat perdana dalam kegiatan kerelawanan. Saya si pemalas kala itu harus melawan hangatnya kasur untuk bangun lebih awal, juga harus melawan dinginnya udara bermotor dari Citayam menuju Rawamangun.

Pukul enam tepat saya tiba di tongkrongan BNI, di sekitaran UNJ, seperti yang ditentukan Ilham. Memarkirkan motor, lalu Clingak-clinguk lihat sekitar, ternyata nihil gak ada penampakan anak-anak yang saya kenal. Yang ada cuma penjual nasi uduk masih menyiapkan piring dan kerupuk, karena akan memulai berusaha.

"Mungkin dikit lagi pada sampe", pikir positif saya dalam hati.

Saya tunggu.. tunggu.. tunggu. Saya lihat waktu sudah berjalan sejam tapi masih belum ada juga batang hidung relawan-relawan ini, gumam saya.

Saya kesal, akhirnya saya berinisiatif telepon Ilham. "Eh bangs**, dimana lu? gue di BNI dari jam enam," kata saya di telepon. "
"Hahahahaha, udah sampe, Den? yaudah gue mandi dulu ya." bales dia.

Selang sejam barulah muncul makhluk-makhluk tidak bertanggungjawab yang sudah menelantarkan perantau dari Citayam di UNJ sendirian. Ya, tepat pukul delapan mereka satu persatu mulai berdatangan.

Setelah dirasa sudah lengkap, barulah bang Sora menjelaskan sedikit konsep acara yang akan kita bantu.  Pada momen itu saya baru mengetahui bahwa setiap kegiatan punya orang yang mengkomandoi supaya acara berjalan lancar, kami biasa menyebut KORLAP.

Bang Soralah yang saat itu ditunjuk menjadi korlap. Dari pemaparan bang Sora, kami jadi tahu bahwa acara yang akan kita bantu adalah acara yang diselenggarakan oleh teman-teman disabilitas netra (tunanetra) dari Jakarta Selatan, berupa kegiatan tausiyah dan peserta yang hadir sekitar 200an orang dengan jumlah relawan saat itu mungkin tak lebih dari 10. Acara tersebut juga dimulai sejak pukul sebelas.

Dalam hati saya terpikir, "Ngapain gue dateng pagi-pagi buta? sempak emang nih si Ilham".

Omaygat.

Jam sepuluh tepat kita memutuskan untuk mengendarai motor menuju lokasi. Di perjalanan saya terpikir, "Kok bang Sora bisa tau jalannya yaa?". Ternyata usut punya usut, bang Sora ini sudah melakukan survey sebelum kegiatan. Dan itupun menjadi salah satu jobdesk dari korlap. Yap, survey.

Dari survey yang dilakukan korlap, kita jadi bisa tahu rute tercepat menuju lokasi, kita tahu kendaraan menuju lokasi, kita juga jadi tahu dimana letak kamar mandi ketika kita sedang kebelet, dan kamar mandi yang digunakan disabilitas netra.

Jam sepuluh lebih empat puluh lima menit, kami tiba di lokasi, di bilangan Jakarta Selatan tidak jauh dari ITC Fatmawati.

Bang Sora mempercayakan saya untuk bertugas menjemput dan mengarahkan tunanetra dari jalan raya ITC Fatmawati menuju lokasi, yang kurang lebih berjarak tiga ratus meter. Dan saya lakukan mondar-mandir, karena jumlah tunanetra yang menggunakan kendaraan umum kala itu masih sangat banyak, beda dengan sekarang yang sudah menggunkan kendaraan online.

Bisa dibayangkan bagaimana letihnya?

Jujur kaki saya terasa amat pegal kala itu, tapi saya juga merasa amat senang. Di sepanjang perjalanan dari Sevel Fatmawati sampai ke lokasi saya banyak mendapat kesempatan bercengkerama dengan tunanetra hebat yang tidak menyerah dengan hidup di tengah keterbatasan mereka.

Mulai dari tunanetra yang bekerja sebagai tukang pijat dengan penghasilan tak seberapa tapi tetap mengambil kesempatan untuk ikut 'mengaji'. Ada juga yang mungkin usianya lebih dari enam puluh tahun tapi tetap antusias untuk bertemu teman-teman seperjuangan di pengajian.

Dari hasil obrolan, saya tergampar bahwa hidup tidak melulu tentang uang. Tidak melulu tentang mimpi bergelimang harta. 

Lantas saya berpikir, "Apa yang mereka cari?"

Di perenungan, saya temukan jawaban. Sebetulnya mereka tidak mencari, mereka hanya menjemput hidayah di tempat-tempat baik yang disediakan Allah. Mereka juga menjemput kebahagiaan dari cerita lucu teman-teman seperjuangan, yang berpikir bahwa hidup harus ditertawakan, bukan untuk dikeluhkan.

Sebagai manusia, kala itu saya merasa sebagai manusia yang berada di titik terendah dibanding teman-teman tunanetra. Selama ini saya sudah merasa mengayuh kehidupan yang amat jauh, tapi ternyata saya hanya berjalan di tempat dalam sebuah zona nyaman.

Karena sesungguhnya kedewasaan bukanlah perihal umur, tapi perihal menghargai pemikiran dan keinginan banyak orang juga bijak menyikapi suatu masalah. Baku hantam buka satu-satunya solusi seperti yang saya pikir ketika memasuki akhir usia 20an.

Dari pengalaman pertama saya di kegiatan kerelawanan, nurani saya mulai terketuuk. Saya tertarik pada komunitas sosial ini.

Lalu?

Saya lanjutkan episode berikutnya yaaaa..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis