Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Krisis Identitas

Akhir-akhir ini, kata "jadilah diri sendiri" terdengar amat klise. Apakah seseorang bisa menjadi diri sendiri? Diri ini adalah hasil tempaan kehidupan, pemikiran dan inspirasi datang dari siapapun. Datang dari berbagai masalah yang mendewasakan diri. Sampai satu ketika aku beranggapan "jangan berusaha menjadi keren, berusaha saja menjadi baik dan jujur". Sebab, diluar sana banyak sekali orang yang merasa keren dengan mengikuti sekitarnya; memakai apa yang sedang keren, sampai melakukan hal-hal nyeleneh hanya karena ingin dianggap keren. Tapi, untuk menjadi jujur, itulah yang sulit. Setidaknya, jujur kepada diri sendiri, melakukan hal-hal yang memang diinginkan oleh hati nurani, meski harus dicemooh oleh orang lain.  "Karena hidup bukan untuk memuaskan birahi semua orang"  

Life Begins at The End of Your Comfort Zone

Gambar
via http://kupang.tribunnews.com Seringkali kita berpikiran "untuk apa aku berubah? Aku merasa hidupku baik-baik saja". Itu sangat wajar dan manusiawi ketika kita sedang terjerambab di zona nyaman. Tempat di mana semua baik-baik saja dan siapapun menerima kita apa adanya.  Kita berpikiran, tanpa perubahanpun hidup kita akan tetap baik-baik saja dan tidak mengalami kekurangan. Tapi.. itu hanya menurut kita.  Hidup kita akan begitu saja, tidak membaik secara signifikan. Teman kita akan gitu-gitu aja, kualitas bicara kita juga akan gitu-gitu aja, karena kita hanya terbiasa bicara dengan teman lama yang bahasanya dari dulu sampai sekarang sangat jauh dan manfaat, dan pencapaian hidup kita juga akan gitu-gitu aja.  Intinya, kita hanya bertahan di satu tempat sehingga tidak melihat bahwa hakikatnya dunia luar sedang berproses. Tolok ukur kita hanya lingkungan sekitar yang notabene sangat terbatas.  "Tapi kan saya sama teman-teman sering juga bepergian, masi

Touching Old Blog

Hallo... Alhamdulillah setelah sekian lama menjadi mahasiswa, tepat dua belas bulan yang lalu gue secara resmi menyandang gelar "Sarjana Pendidikan". Wuiiiiih tepuk tangan dong dikit, dikit aja. Muah. Waktu yang cukup lama ya dari mulai gue lulus sampai gue mulai mengisi waktu luang untuk nyorat-nyoret di di blog ini lagi. Hehehe gapapa lah yaaa. Btw, tiga bulan setelah gue menyandang gelar terhormat "S.Pd", gue resmi menjadi guru muda. Guru muda di salah satu sekolah di bilangan Jakarta Selatan. Ada yang tahu? sssst jangan kasih tau, nanti netizen pada tau.

Popularitas dalam Volunteerisme

Gambar
via blog.aisec.or.id Setiap orang waras senang bila mendapatkan pujian. Kalau ada orang yang tidak suka menerima pujian, berarti harus periksa diri ke psikiater, karena ada kemungkinan kelainan jiwa. Tapi jangan lupa, bahwa yang dapat membuat orang mabuk, bukan hanya alkohol, tapi pujian juga berpotensi memabukkan. Namanya mabuk, walaupun berbeda penyebabnya, tapi akibatnya sama, yakni sama sama lupa diri dan tidak mampu lagi berpikir dengan baik. Media sosial kini jadi jalan paling ampuh untuk meretas popularitas. Tinggal cekrek, upload, lalu silih berganti netizen berkomentar penuh empati. Popularitas tersebut seringkali juga bersemayam dalam jiwa kerelawanan. Alih-alih membantu tanpa mengharap, namun ketenaran juga di harap-harap. Meraih empati, merasa paling baik, merasa paling membantu, namun minim kontribusi. Bisakah popularitas dan volunteerisme beriringan meski berbeda tujuan?

Paradigma Pendidikan "Guru Sumber Ilmu" dan Pendidikan Tak Harus Mengejar Standar

Gambar
  via haibunda.com Budaya ketimuran sangat menjunjung tinggi senioritas. Orangtua dan guru di mata masyarakat memiliki posisi terhormat. Keduanya masih dianggap sebagai sumber ilmu dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sifat senioritas ini bagi pengajar terkadang memunculkan keengganan untuk terus belajar karena menganggap diri sudah mumpuni dalam segi wawasan dan perilaku. Hal tersebut juga berdampak pada mentalitas pembelajar. Budaya ini membuat siswa menjadi pasif karena mereka dianggap hanya sebagai penerima informasi. Siswa dinilai dari kepatuhan, bukan berdasarkan kreativitas, karakter, kemampuan mereka mengemukakan pendapat, memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Berdasarkan perkembangan pendidikan di Indonesia sebetulnya  kesadaran bahwa yang dibutuhkan oleh Indonesia pada abad ke-21 adalah manusia yang mandiri, kreatif, pandai mengambil keputusan, dan memiliki jejaring sosial luas sudah tercanang. Terlihat dengan diterapkannya kurikulum beraliran kontrukt

Bentuk Pelayanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus: 1.        Pendidikan Khusus Pendidikan khusus merupakan bentuk layanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Program penyelenggaraan pendidikan khusus difokuskan bagi anak – anak yang menyandang ketunaan (tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, korban narkoba dan HIV/AIDS, autism dan lambat belajar) yang mengikuti program pembelajaran pada sekolah luar biasa, pendidikan khususpun dilaksanakan bagi anak – anak yang memiliki kecerdasan istimewa atau sekolah penyelenggara program akselerasi sekolah umum. 2.        Program pendidikan layanan khusus Program ini merupakan pendidikan bagi semua peserta didik yang dalam pelayanan pendidikannya memerlukan kekhususan sesuai dengan keberadaan serta karakteristik peserta didik seperti pelayana

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Aku merasa hidupku baik-baik saja. Pagi bangun, bersiap menuju kantor atau sekolah, lalu pulang sore dengan letih aktivitas seharian. Besok seperti itu kembali, dan selalu berulang. Hingga tak terasa umurmu berlalu dengan demikian cepat.  Lalu masalahnya dimana? Seseorang sedang merasa hidupnya baik-baik saja, dan tanpa sadar terjebak dalam sebuah tempat bernama zona nyaman. Tempat dimana semua baik-baik saja dan siapapun menerima kita apa adanya. Toh tanpa perubahan hidup kita akan baik-baik saja dan tidak mengalami kekurangan. Tapi, itu hanya menurut kita. Seperti itulah dampak sebuah zona nyaman. Memanjakan dari luar namun sejatinya menghancurkan dari dalam. Sekilas memang indah, hidup bagaikan dalam istana dengan berbagai kenyamanan yang ada.  Hidup kita akan begitu-gitu saja, tidak membaik secara signifikan. Teman kita akan gitu-gitu aja, tidak mendapat teman baru yang semakin membuat wawasan bertambah hingga hidup akan jadi lebih menarik. kualitas bicara akan

Elang dan Ayam, Dua Sisi Kontradiksi

Gambar
Pada suatu hari, di sebuah negeri antahberantah tinggalah sebuah Elang yang kokoh dan tangguh. Ia selalu bergerak dan mengepakan sayapnya. Terbang mengikuti arah angin, meliuk-liuk diantara gerak awan, sambil sesekali turun ke daratan memangsa hewan lain untuk dimakan. Tak pernah seharipun ia merasa kelaparan.  Hal tersebut ternyata menuai cemburu sang Ayam. “Wah si Elang dia mudah sekali mencari makan, andai saja aku bisa terbang selayak dia, pasti hidupku tak sesulit ini, untuk mencari makan saja susah” celetuknya dalam hati. Sampai tibalah pada suatu hari dimana Si Elang yang lelah seharian terbang, beristirahat tak jauh dari tempat Ayam yang sedang gelisah. Si Ayam rupanya menyadari kehadiran Elang di tersebut. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Si Ayam mendekati Elang dan bertanya “Lang, kamu hebat sekali, bagaimana kamu bisa terbang?”. Si Elang setengah sadar menanggapi “Aku terlahir hebat, siang dan malam ibuku memaksaku terbang, tak perduli hujan dan gersang, di