Paradigma Pendidikan "Guru Sumber Ilmu" dan Pendidikan Tak Harus Mengejar Standar

 via haibunda.com

Budaya ketimuran sangat menjunjung tinggi senioritas. Orangtua dan guru di mata masyarakat memiliki posisi terhormat. Keduanya masih dianggap sebagai sumber ilmu dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Sifat senioritas ini bagi pengajar terkadang memunculkan keengganan untuk terus belajar karena menganggap diri sudah mumpuni dalam segi wawasan dan perilaku.

Hal tersebut juga berdampak pada mentalitas pembelajar. Budaya ini membuat siswa menjadi pasif karena mereka dianggap hanya sebagai penerima informasi. Siswa dinilai dari kepatuhan, bukan berdasarkan kreativitas, karakter, kemampuan mereka mengemukakan pendapat, memecahkan masalah dan mengambil keputusan.

Berdasarkan perkembangan pendidikan di Indonesia sebetulnya  kesadaran bahwa yang dibutuhkan oleh Indonesia pada abad ke-21 adalah manusia yang mandiri, kreatif, pandai mengambil keputusan, dan memiliki jejaring sosial luas sudah tercanang.

Terlihat dengan diterapkannya kurikulum beraliran kontruktivistik yang mengedepankan pengajaran yang positif dan demokratis. Diantaranya sejak tahun 1990-an pemerintah pernah menerapkan kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), pada tahun 2006 pemerintah membuat Kuriulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bertujuan agar setiap sekolah bisa mengembangkan metode pembelajaran sesuai keunikan siswa dan lingkungan masing-masing. Kurikulum tersebut kemudian beralih ke kurikulum 2013 yang menyatakan bahwa siswa merupakan subyek pembelajaran. Artinya, guru tidak lagi sebagai sumber pengetahuan, tetapi juga fasilitator yang mengembangkan minat, bakat, wawasan, dan keterampilan siswa.

Tetapi, cita-cita pendidikan konstruktivistik masih sebatas di atas kertas. Oleh karena itu, meski kurikulum berubah, tidak membawa perubahan yang signifikan dalam peningkatan literasi siswa. Sebab pengajar masih terlalu mendominasi, dan pembelajar tidak diberi ruang berpikir yang sesuai dengan karakternya. 

Selain itu penerapan standar yang seragam  mengakibatkan siswa tertekan dan stress. Mereka menjadi jenuh dengan sekolah.

Angela Duckworthd seorang peneliti bidang psikologi dari Universitas Pennyslvania, Amerika Serikat menyatakan bahwa kunci prestasi siswa bukan tingkat kecerdasan, bakat, dan infrastruktur sekolah. Duckworth menemukan kunci utama kesuksesan seseorang adalah motivasi.

Argumentasi Duckworth mengatakan, agar bisa memiliki motivasi, seseorang harus menyukai bidang itu. Artinya, agar siswa termotivasi belajar, ia harus menyenangi sekolah dan proses pembelajaran.

Proses pembelajaran di sekolah dirasa belum membuat siswa tertarik. Metode latihan soal terus menerus yang berdasarkan kisi-kisi ujian (drilling) membuat siswa jenuh dan terkungkung.

Langkah awal yang bisa diambil ialah personalisasi belajar. Dalam hal ini, siswa menjadi subyek pembelajaran yang aktif, bukan sekedar penerima materi ajar. Perencanaan ruang kelas, misalnya diatur berdasarkan masukan siswa.

Dalam pengenalan materi pelajaran, siswa sendiri yang menentukan target capaian mereka. Target utama adalah pada setiap akhir semester, setiap siswa menguasai materi yang ditentukan oleh kurikulum. Akan tetapi, proses pembelajaran ditentukan oleh setiap siswa, tergantung pada kemampuan dan metode balajar masing-masing.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis