Life Begins at The End of Your Comfort Zone

via http://kupang.tribunnews.com

Seringkali kita berpikiran "untuk apa aku berubah? Aku merasa hidupku baik-baik saja". Itu sangat wajar dan manusiawi ketika kita sedang terjerambab di zona nyaman. Tempat di mana semua baik-baik saja dan siapapun menerima kita apa adanya. 

Kita berpikiran, tanpa perubahanpun hidup kita akan tetap baik-baik saja dan tidak mengalami kekurangan. Tapi.. itu hanya menurut kita. 

Hidup kita akan begitu saja, tidak membaik secara signifikan. Teman kita akan gitu-gitu aja, kualitas bicara kita juga akan gitu-gitu aja, karena kita hanya terbiasa bicara dengan teman lama yang bahasanya dari dulu sampai sekarang sangat jauh dan manfaat, dan pencapaian hidup kita juga akan gitu-gitu aja. 

Intinya, kita hanya bertahan di satu tempat sehingga tidak melihat bahwa hakikatnya dunia luar sedang berproses. Tolok ukur kita hanya lingkungan sekitar yang notabene sangat terbatas. 

"Tapi kan saya sama teman-teman sering juga bepergian, masih dibilang tidak melihat dunia luar?" Boleh jadi fisik kita ke mana-mana, tapi pikiran kita jalan di tempat. Haha Hihi Haha Hihi, lalu lupa bahwa mati juga merenggut jiwa yang muda. Seperti itulah dampak sebuah zona nyaman, memanjakan dari luar namun sejatinya menghancurkan dari dalam.

"Persoalan perubahan yang dihadapi manusia bukanlah mengadpsi hal-hal baru, melainkan sulitnya membuang kebiasaan lama." - Albert Einstein.

Salah satu alasan yang menghalangi seseorang untuk berubah adalah saat dia merasa ketakutan untuk kehilangan. Karena untuk berubah, kita butuh melangkah. Meninggalkan sesuatu yang lama untuk menemui sesuatu yang baru. 

"Lalu, bagaimana dengan teman-temanku?"

Jika mereka juga ingin berubah, pasti mereka mengikuti kita. Namun jika tidak, mereka akan diam di tempat dan menjauh dari kita. Akan muncul kesan bahwa kita meninggalkan mereka, namun kenyataan yang ada adalah perubahan kita yang memberikan sebuah jarak antara kita yang dulu dengan kita yang baru, sehingga kita dan mereka jadi menjauh. Sebenarnya tidak ada yang menjauh, hanya saja kita sedang melangkah, sedang mereka tidak. 

"Tidak, aku tidak siap untuk kehilangan mereka. Aku tidak mau dicap sombong. Aku tidak mau dicap sebagai kacang lupa kulitnya"

Pandanglah dengan jelas, renungkanlah. Apakah proses pendewasaan diri kita selama ini mengacu pada kebaikan, atau keburukan. Selama ini kita menganggap benar karena tidak ada pembanding di dalam komunitas kita, sehingga kita selalu menganggap benar. 

Melangkahlah, tinggalkan kebiasaan-kebiasaan lama karena Allah. Tinggalkan hal-hal lama kita yang tidak bermanfaat karena Allah. Jika kita meninggalkan semua itu karena Allah, Allah kan mengganti dengan yang jauh lebih baik.

"Bagaimana dengan teman kita?"

Biarkan, tinggalkan, dan lakukan perbaikan pada diri sendiri. Kelak akan terlihat bagaimana teman kita. Sejujurnya, ada banyak kasus pertemanan yang terganggu karena salah satu anggota mereka berubah menjadi lebih baik. Entah dengan alasan mereka tidak ingin teman mereka berubah, agar terus menemani dalam maksiat. Atau, mungkin masih terpaku pada masa lalu orang tersebut, sampai dihakimi dan dinilai tidak pantas berubah.

"Dosa lo terlalu banyak, Bro". Gitu katanya.

"Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkan mereka dengan cara yang baik." (Q.S Muzzammil [73]: 10)

Sampai pada akhirnya, titik kebaikan terkecil akan membawa kita pada titik kebaikan terbesar. Titik perubahan terkecil akan membawa kita pada perubahan terbesar. 

Let's move on, guys.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis