Menjaga Sholat dan Jangan Marah

Selepas sholat Maghrib berjamaah, saya dan satu orang teman menyempatkan diri untuk mengobrol dengan salah satu imam rawatib di masjid terdekat dari rumah saya. Perkiraan saya, usia beluai belum menginjak kepala empat, atau mungkin berada di kisaran usia empat puluh awal. Tapi soal hapalan bacaan dan makhrorijul huruf, jangan coba-coba tandingkan. Dari tujuh imam rawatib di masjid dekat rumah saya, saya rasa beliau adalah yang paling baik perihal makhrorijul huruf.

Ketika belum habis berbasa basi, teman saya bertanya, "ustadz, kira-kira hal penting apa yang perlu dikuasain (read: dipahami) laki-laki sebelum dia menikah?"

"Jaga sholat dan jangan marah", jawab beliau singkat. 

Seketika saya tertarik dengan jawaban yang kedua. Ya, jangan marah. Saya coba merefleksi betapa sulitnya menjaga amarah. Coba bayangkan, betapa banyak hal-hal yang tidak kita sukai dan kita serta merta ngambek 

Contoh sederhana ketika kita mengendarai kendaraan, lalu tiba-tiba ada pengendara lain yang menyalip secara bringasan. Kadang, pada situasi tertentu kita merasa kesal. Padahal kita belum tahu alasan orang tersebut kebut-kebutan. Barangkali sedang kebelet ingin buang air besar, atau barangkali ada keluarganya yang sakit atau meninggal.  

Merefleksi kembali nasihat ustadz, "jangan marah". Saya rasa nasihat itu memang benar adanya. Sebagai seseorang yang baru seumur jagung menikah, saya perlu belajar betul tentang menahan marah. 

Pernikahan bukan perihal hidup sendiri dan menyenangkan ego sendiri, Tidak semua hal dilalui dengan tawa dan bahagia. Tawa dan bahagia itu pasti. Tapi porsi sedih dan meringis juga seimbang. Kadangkala kehidupan rumah tangga tidak semulus angan-angan. Marah, saya rasa adalah bentuk penyikapan kita terhadap rasa sedih dan meringis yang kita alami.

Rumah tangga berasal dari gabungan dua kata, yakni 'rumah' dan 'tangga'. Pikir saya, kenapa pada akhirnya pernikahan dinamakan rumah tangga, karena mungkin memang dalam menjalani kehidupan pernikahan ada kalanya ujian demi ujian itu kadar kesulitannya semakin bertambah dan menanjak seperti tangga. 

Pada awalnya titik ujian berasal dari penyesuaian karakter masing-masing pasangan. Mungkin selanjutnya titik ujian berasal dari penyesuaian terhadap mertua, saudara sekitar, atau bahkan tetangga. Mungkin selanjutnya titik ujian berasal dari finansial. Mungkin titik ujian selanjutnya pada gangguan orang ketiga. Mungkin titik ujian selanjutnya berasal dari anak. Hingga pada akhir titik ujian ketika kita menemui kesendirian kita kembali. Kita menua dan menunggu kepulangan pada ilahi.

Dalam menghadapi setiap ujian demi ujian, tentu banyak hal-hal yang kita mudah terima dengan lapang. Ada kalanya rasa kesal juga datang. Tapi, ketika kita menghadapi setiap ujian dengan tidak marah. Saya rasa kita sudah satu langkah berhasil mengalahkan diri kita sendiri.

 Jadi, saya rasa perlu sekali belajar untuk tidak marah.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis