Teruntuk: Ayah (Tempat Hatiku Berpulang)


 via: potopoyo.wordpress.com
Baru saja, seorang kawan curhat di media sosial perihal kepergian mendiang ayahnya ke haribaan untuk selama-lamanya. Begini cuitannya:

“Dari kecil sampe besar baru sekali foto berdua, satu satunya pun jadi kenangan, yang hanya bisa dipandang dan tidak bisa digenggam”

Memang jika dilihat sepintas, tak ada yang istimewa dari pekerjaan seorang ayahnya. Beliau sebatas sosok sederhana yang sehari-hari memiliki pekerjaan mulia sebagai marbot sebuah masjid. Tak ada yang bisa dibanggakan dari pekerjaan seorang marbot masjid.

Lagi-lagi jika dilihat sepintas, pekerjaanya memastikan masjid bersih ketika akan digunakan sholat tampak amat sederhana. Hanya menjalankan rutinitas menyapu bagian luar masjid lalu mengepel. Kemudian membersihkan bagian karpet masjid seminggu sekali, ketika hendak digunakan untuk ibadah besar Jum’atan, juga sholat Id dan pengajian maulidan ala-ala masjid di area perumahan lainnya. Sesekali beliau mengecek dan memastikan kondisi air, apakah dirasa cukup untuk digunakan berwudhu dan buang hajat jama’ah atau tidak.

Nyatanya, yang beliau lakukan tidak sesederhana itu. Beliau sudah terjaga ketika warga sedang menikmati tidur lelapnya. Ya, pukul 03.30 ia sudah mulai bertugas demi kenyamanan ibadah sholat Subuh warga sekitar. Memastikan kotak amal tidak tercuri oleh maling biadab yang rela auto masuk neraka Jahanam yang tega mencuri uang kotak amal masjid demi memenuhi kebutuhannya. Juga menjadi sosok yang pulang paling akhir ketika malam hari, menunggu jamaah selesai menjamah tuhannya lewat do’a. 

Beliau memang sebatas seorang marbot, tapi bagaimana melihat jerihnya demi membesarkan tiga buah anak sampai bisa hidup mandiri, tentu bukan pekerjaan yang mudah. Mungkin, beliau juga seringkali menahan lapar akibat seharian tidak kena nasi demi sang buah hati bisa tertawa ketika makan. Mungkin juga beliau mengubur ego mengejar cita-citanya demi mimpi dan cita-cita si buah hati. 

Tapi anak sedewasa apapun tetaplah anak, baktinya terhadap orang tua tidak akan sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan orang tua. Bahkan, anak juga seringkali memakan ego sendiri, lalu pura-pura melupakan perih keluarga. 

Kita terlalu mengamati yang besar, lalu lupa melihat yang kecil. Di luar sana, kita membantu memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dan realitas sosial, tapi lupa menghangatkan kembali rindu keluarga. Kita sibuk menggapai mimpi-mimpi besar, lalu lupa berterima kasih atas perhatian-perhatian keil dari keluarga dan sanak saudara kita. Kita dibutakan hasrat mengejar cita-cita dan karier, lalu dengan teganya membiarkan sang ibunda yang sudah demam sedari kemarin. Kita mengejar seseorang dengan rasa kagum luar biasa besar, tapi menganggap kecil seseorang yang telah memberikan cintanya sepenuh hati. Dan, sepertinya, sudah kodrat kita untuk membesarkan masalah kecil, lantas lupa memperkecil masalah besar. 

Ingat, dibalik jerihmu menghadapi dunia, ada rindu keluarga yang perlu kau jenguk. Ada senyum pagi ibu yang perlu kau sapa. Ada bahu ayah yang sudah tak legam untuk kau pijat dengan kasih sayang. Mungkin kita baru merasakan sakit hati yang teramat besar saat semua hal kecil di sekeliling kita yang begitu mencurahkan kasih sayangnya telah tiada.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis