Postingan

Seremonial 17 Agustus

 17 Agustus, rasanya memang menjadi tanggal yang selalu menarik untuk dilewati. Biasanya tawa dan bahagia bercampur dalam sebuah frame yang terbungkus bernama "lomba". Warga-warga yang biasanya tidak pernah keluar rumah, akhirnya berbondong-bondong menuju tempat keriuhan bermuara. Ada sebagian yang datang untuk terlibat dalam lomba, ada juga yang sekadar haha hihi untuk menikmati terselenggaranya lomba. Anak-anak riuh bersemangat untuk mendapatkan hadiah lomba. Orang dewasa riuh membantu pelaksanaan lomba juga bersenda gurau di antara sesamanya, atau bahkan juga terlibat lomba. Borjoget-joget, berliuk-liuk atau tertawa sampai terpingkal-pingkal menjadi warna tersendiri dalam kegiatan 17 Agustusan. Saya sendiri menikmati pelaksanaan lomba di lingkungan terdekat kami. Tapi 17 Agustus kali ini menjadi suasana yang berbeda. Bagaimana tidak, saya mengawali hari dengan rasa pegal di sekujur badan, panas-dingin, meriang, flu, kepala sedikit pusing tapi saya harus berangkat ke sekola

Menjaga Sholat dan Jangan Marah

Selepas sholat Maghrib berjamaah, saya dan satu orang teman menyempatkan diri untuk mengobrol dengan salah satu imam rawatib di masjid terdekat dari rumah saya. Perkiraan saya, usia beluai belum menginjak kepala empat, atau mungkin berada di kisaran usia empat puluh awal. Tapi soal hapalan bacaan dan makhrorijul huruf, jangan coba-coba tandingkan. Dari tujuh imam rawatib di masjid dekat rumah saya, saya rasa beliau adalah yang paling baik perihal makhrorijul huruf. Ketika belum habis berbasa basi, teman saya bertanya, "ustadz, kira-kira hal penting apa yang perlu dikuasain (read: dipahami) laki-laki sebelum dia menikah?" "Jaga sholat dan jangan marah", jawab beliau singkat.  Seketika saya tertarik dengan jawaban yang kedua. Ya, jangan marah. Saya coba merefleksi betapa sulitnya menjaga amarah. Coba bayangkan, betapa banyak hal-hal yang tidak kita sukai dan kita serta merta ngambek   Contoh sederhana ketika kita mengendarai kendaraan, lalu tiba-tiba ada pengendara la

Tentang Rumi Shauqi Rabbani, Anakku

Dek, suatu hari nanti ketika umurmu sudah 6 atau 7 tahun, baca tulisan ini ya. Hari ini, 27 September 2021, pukul 08.54 engkau telah dilahirkan ke buminya Allah dengan berat dan panjang yang cukup. Kurang lebih seperti ayahmu. Engkau lahir dari rahim seorang ibu yang baik hati, yang menjagamu ketika alat tes kehamilan yang dicobakan ibumu bertanda dua garis biru, pertanda engkau ada. Ibumu menjagamu pagi, petang hingga hari menjelang. Ibumu yang mendoakan kebaikanmu, berharap engkau lahir dengan keadaan paling bahagia di muka bumi ini. Dek, ibumu jua lah yang menahan pegal semalam suntuk, tidur tidak pulas, menahan kantuk di siang hari, bahkan harus membagi waktu untuk mengajar, mengatur posisi sana dan sini supaya tetap profesional mengajar di kala perut sudah membesar. Ibumu rela menjaga asupan makan, menahan ego makan serampangan demi asupan gizimu baik dan sehat, semata-mata untukmu. Ketika nanti engkau bertanya, "siapa yang perlu kau jaga hatinya? siapa yang perlu kau perlaku

Sabtu Resah yang Basah

Lima orang dewasa berkumpul di rooftop sebuah kedai kopi di bilangan Lenteng Agung. Di bawah terik matahari selepas Ashar rasanya menjadi pilihan yang kurang tepat untuk mengobrol intim dengan nuansa rooftop sedikit atap. Akhirnya pilihan untuk ngobrol ngalor ngidul menjadi tema yang dipilih sebagai pemecah keheningan. Haha hihi haha hihi tidak berhenti tatkala pening menekan isi kepala. Tertawa selepas-lepasnya adalah obat keresahan dari masing-masing isi kepala. Satu sama lain kita masih ragu untuk memecahkan kerisauan satu sama lain. "gengsi" yang mengganjal kita untuk bercerita sesuka apa yang kita mau. Kita harus membuat pertanyaan pancingan, agar semua keluh kesah tumpah dalam obrolan. Saya yakin betul, dibalik sebuah tawa yang terbahak-bahak ada masing-masing keresahan yang kita kunci rapat-rapat dalam sebuah kulit kepala. Perihal hidup, rasanya memang nihil untuk kita tidak mengalami dinamika selayaknya orang hidup. Tawa dan lara, senang dan duka, ceria dan menangis s

Sebuah Pengingat

Den, jika hatimu dipenuhi dengki, kebaikan sekecil apapun takkan ternilai. Sementara menjelekan yang lainnya juga tak mengubah apapun kecuali mengotori hatimu. Satu yang pasti bahwa setiap kita tumbuh malalui proses. Terbentur sana sini. Bonyok dan lebam jadi hal yang pasti.  Manusia salah itu ya wajar karena bukan malaikat, kan? Sekelas nabi Musa A.S aja pernah berbuat salah dan dimarahi Allah karena menolak membimbing taubatnya seorang pelacur. Yang salah adalah yang tidak berbuat, hanya mengamati, menonton, lalu membabi buta mengumbar kesalahan sana sini. Alih-alih mengkritisi justru memperkeruh keadaan yang sedang carut. Yok istighfar, Den.

Kritik untuk Si Anak Webinar

Selalu banyak cara untuk belajar. Di tengah kondisi pandemik seperti ini mengadakan diskusi tipis-tipis tatap muka secara langsung rasa-rasanya kurang memungkinkan ya. Mengingat kondisi dan resiko terpapar virus corona bisa menjangkiti siapapun yang sedang bertatap muka. Apalagi ada beberapa diantara kita yang terjangkit virus corona tetapi dengan kondisi tanpa gejala. Ya itu tuh orang-orang yang nggak pilek, nggak batuk, tapi napasnya ada aura-aura wisma atlit Kemayoran . Hmm jangan lupa pake masker, kawan. Ketika pertemuan dibatasi, webinar menjadi salah satu alternatif cara pembelajaran yang kini marak digaungkan. Mulai dari isu hangat perpolitikan, sampai isu tidak populis seperti pendidikan dan filsafat juga acapkali diperbincangkan melalui webinar.  Semua-semuanya serba webinar. Bahas arah politik Jokowi-Prabowo melalui webinar. Bahas dampak buruk pembelajaran dari rumah melalui webinar. Bahas faktor penyebab bayi mencret-mencret juga diwebinarkan. Saya baru mengenal istilah web

Orang Tua Sebaik-baiknya Penawar Letih

Ketika merasa letih dengan proses pendewasaan diri, selalu teringat ibu dan bapakku pasti lebih letih mendewasakanku. Ketika anaknya merasa patah, ibu dan bapakku yang memelihara do'a di sepertiga malamnya, agar anaknya tetap berupaya Ketika anaknya merasa terasing dengan dunianya, ibu dan bapakku yang meyakini, bahwa hari esok kan baik-baik saja. Rabb, maafkan jika jiwa yang lemah ini tak cukup berbakti, tak cukup untuk menjadi pemberat amal kedua orang tuaku kelak. Mereka baik, kelak tempatkan keduanya di tempat yang terbaik, yang engkau sukai, yang engkau ridhoi.