Seremonial 17 Agustus

 17 Agustus, rasanya memang menjadi tanggal yang selalu menarik untuk dilewati. Biasanya tawa dan bahagia bercampur dalam sebuah frame yang terbungkus bernama "lomba". Warga-warga yang biasanya tidak pernah keluar rumah, akhirnya berbondong-bondong menuju tempat keriuhan bermuara. Ada sebagian yang datang untuk terlibat dalam lomba, ada juga yang sekadar haha hihi untuk menikmati terselenggaranya lomba. Anak-anak riuh bersemangat untuk mendapatkan hadiah lomba. Orang dewasa riuh membantu pelaksanaan lomba juga bersenda gurau di antara sesamanya, atau bahkan juga terlibat lomba. Borjoget-joget, berliuk-liuk atau tertawa sampai terpingkal-pingkal menjadi warna tersendiri dalam kegiatan 17 Agustusan.

Saya sendiri menikmati pelaksanaan lomba di lingkungan terdekat kami. Tapi 17 Agustus kali ini menjadi suasana yang berbeda. Bagaimana tidak, saya mengawali hari dengan rasa pegal di sekujur badan, panas-dingin, meriang, flu, kepala sedikit pusing tapi saya harus berangkat ke sekolah untuk melaksanakan upacara, Seremonial memperingati perjuangan para pahlawan. 

Selepas upacara, saya dapat kabar bahwa ada sanak saudara dari ibu meninggal dunia. Memang sepanjang saya hidup, saya tidak pernah menemui beliau, karena memang kita terbatas jarak. Beliau sejak tahun medio 80an sudah hijrah dari Yogyakarta ke pulau Sumatera, tepatnya di kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Sementara saya sejak kecil hidup di kota satelit penunjang ibukota, di kabupaten Bogor.  Tapi melihat salah satu sanak saudara meninggal, tentu rasanya lirih juga. Saya melihat betul proses ketika beliau disemayamkan, kemudian disholatkan, hingga dimakamkan. Melihat manusia berpulang menjadi hal yang membuat saya selalu bergidik. Bukan karena takut melihat jenazah, tapi lebih takut bagaimana menghadapi kematian. Saya selalu terpikir, bagaimana ya proses kematian saya kelak, bagaimana ya akhir hidup saya kelak, apakah saya akan dikenang sebagai manusia yang tidak cukup berbakti pada Tuhan dan bermakna pada manusia, atau justru menjadi manusia yang digembirakan kematiannya karena hidup berdampak pada sesama. 

Selepas bertakziah, saya kembali ke rumah untuk menikmati rangkaian lomba di sekitar rumah. Kebetulan saya dipercaya menjadi ketua panitia dadakan. Berhubung sedang bertakziah, saya mendapat dispensasi untuk menyusul mengikuti kegiatan. 

Kembali pada cerita kegiatan lomba. Satu hal yang menjadi hal menggembirakan buat saya pribadi adalah tatkala semua warga juga merasa bahagia dengan pelaksanaan lomba. Semua berbaur, tumpah menjadi satu dalam lapangan. Tidak ada sekat, tidak ada rasa canggung setelah bertahun-tahun lamanya tidak berkumpul bersama. Sebelumnya, mungkin tiap warga hanya menyapa tetangga di sebelah rumahnya saja. Ada juga yang mungkin sampai terkejut saking tidak pernah bertemu, ada yang rasanya tiba-tiba bertumbuh cukup cepat menjadi dewasa. Dulu kanak-kanak, sekarang sudah menjadi anak dewasa. Dulu kanak-kanak, sekarang sudah punya anak. 

17 Agustus menjadi cerita tersendiri bagi saya. Anak saya, Rumi yang baru berumur 10 bulan, akhirnya bisa memanggil saya dengan kata "ayah". Waaaah sumringah sekali rasanya melihat bayi bertumbuh secepat ini. Tiap saya contohkan memanggil "ayah", seketika ia langsung sergap mengulangi perkataan saya. Sebelumnya tiap saya katakan "ayah", Rumi selalu mengulangi dengan kata "babah" atau "babababa". Jadi, selamat merayakan 17 Agustus dengan panggilan nama baru, "Ayah Denny".

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis