Pintar Itu Yang Bagaimana?

  via dream.co.id

Berbicara tentang kepintaran, saya ingat jelas pengalaman saya bersekolah dulu, mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, kemampuan peserta didik selalu dinilai melalui kepintarannya. Bahkan, kepintaran juga diidentikan melalui peringkat. Siswa terpintar nan kebanggaan guru selalu menyandang peringkat wahid, sementara siswa terabaikan biasanya menyandang peringkat buncit.

Segala sesuatu memang dapat dinilai dari dua sisi. Sisi positif maupun sisi negatif. Sisi positif dampak dari sistem peringkat adalah bagi siswa yang terpacu oleh peringkat, tentu jelas akan meningkatkan motivasinya. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak terpacu peringkat, akan menganggap dirinya sebagai siswa bodoh, dan sekolah adalah tempat penghakiman terbaik untuk memupuskan harapan siswa yang berharap sekolah adalah ikhtiar untuk meraih cita-citanya.

Dampak lainnya proses pembelajaran menjadi berorientasi pada peringkat, siswa saling termotivasi untuk mengalahkan siswa lainnya dalam belajar.

Sejatinya, proses pembelajaran dimulai dengan rasa ketakjuban, rasa ingin tahu, dan keberanian untuk mencoba. Jelas, cara ini mengandung resiko gagal. Namun kegagalan didesain untuk menjadi pembelajaran yang menantang, bukan menakutkan.

Kita, selaku guru, orangtua dan masyarakat mesti mendukung upaya anak-anak untuk memaknai kesulitan dan kegagalan sebagai tantangan yang mengasyikkan.

Kegagalan yang dimaknai secara positif sebagai tantangan akan memicu siswa untuk mencoba lagi dan lagi. hingga setelah meleati proses trial dan error, tecetuslah ungkapan kemenangan!

Makna belajar jelas lebih luas dari sekadar menjadi nomor satu di kelas atau sekadar menamatkan unit demi unit kurikulum. Saat belajar, siswa bukan sekadar menyelesaikan target materi yang digariskan dinas pendidikan. Yang perlu dibangun adalah kecintaannya untuk mencari tahu lebih luas tentang dunia melalui interaksi di ruang kelas. Yang mesti diasah dalam diri siswa sejak dini adalah kemampuan dasar untuk belajar (learn how to learn) dan menjadikan belajar sebagai panduan menghadapi dunia nyata.

Dengan memiliki hasrat dan kecintaan pada belajar, apapun bidangnya, seorang siswa tengah menyingkap khazanah kehidupan dengan dunianya sendiri. Membentuk untuk menjadi individu mandiri yang kelak akan berdampak pada khalayak.

Apakah berlebihan jika kata pintar didefiniskan sebagai kecintaan kepada seseorang yang belajar?

"Seseorang disebut pintar, selama ia terus belajar. Begitu ia merasa pintar, saat itu ia bodoh."- Abdullah Ibn Mubarak, Ulama Sufi

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis