Mengembangkan Kemampuan Disabilitas Majemuk dengan Hambatan Tunanetra - Tunagrahita

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang diliindungi dan dijamin oleh berbagai instrument hokum nasional maupun internasional. Peraturan perundang-undangan yang mengatur pendidikan untuk semua (Deklarasi Dunia Jomtien, 1990) ingin memastikan bahwa setiap warga Negara mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan. Selain itu, UU No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3, 5, 32, dan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak pasal 48 dan 49 , yang pada intinya Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan, tanpa terkecuali Anak Berkebutuhan Khusus.

Anak Berkebutuhan Khusus juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam berbagai bidang termasuk pendidikan. Seperti yang tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 “setiap warga mempunyai hak dan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat 1) , warga negara yang memiliki kelainan fisik , emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 2), warga negara didaerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak mendapatkan layanan pendidikan khusus (ayat 3), warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 4), setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan pendidikan sepanjang hayat.” 

Pasal 32: “Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (ayat 1) , pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.       
  
Anak Berkebutuhan khusus dalam kaitannya dengan pelayanan pendidikan memiliki arti yang sangat luas. Konsep anak berkebutuhan khusus memiliki arti yang lebih luas dibandingkan dengan konsep pengertian Anak Luar Biasa yang digunakan pada tempo sebelumnya. Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikannya memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya. Anak Berkebutuhan Khusus ini mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan. Oleh sebab itu memerlukan layanan pendidikan khusus yang sesuai dengankebutuhan belajar masing-masing.
 
Secara umum rentangan Anak Berkebutuhan Khusus meliputi dua kategori, yaitu anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, yaitu akibat dari hambatan tertentu, dan anak yang memiliki hambatan temporer, yaitu mereka yang mengalami kesullitan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi  dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang mengalami kesulitan menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwibahasaan, (perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah) , anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembngan karena isolasi budaya dank arena kemiskinan dsb. Anak Berkebutuhan Khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen. 

Seperti yang kita ketahui bahwa terdapat kriteria yang tergolong Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) salah satunya adalah Disabilitas Majemuk. Disabilitas Majemuk adalah Individu yang memiliki gabungan gangguan (motorik, fisik, intelektual, sensoris, dan neurologis) sehingga memiliki kemampuan yang berbeda dalam beraktivitas kondisi tersebut berpengaruh pada pada kurangnya kesempatan berpartisipasi dalam lingkungan sosial.  Anak dengan Disabilitas Majemuk berbeda penangannya dengan anak yang memiliki satu jenis hambatan. Karena anak Disabilitas Majemuk memiliki keterbatasan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan anak yang memiliki satu jenis hambatan. Selain itu tidak semua anak memiliki hambatan yang sama, sehingga diperlukan cara yang tepat untuk memberikan  pemahaman ilmu yang disesuaikan dengan jenis hambatan anak tersebut. 

Seperti yang saya telah dijelaskan terdahulu yang dimaksud individu dengan Disabilitas Majemuk memiliki gabungan gangguan/hambatan dalam beberapa area, diantaranya yaitu area  motorik, fisik, intelektual, sensoris, dan neurologis. Berdasarkan pemahaman konsep seperti ini, maka jenis seorang penyandang Disabilitas Majemuk sangat beragam. Klasifikasi berikut ini adalah klasifikasi Disabilitas Majemuk yang berpangkal pada hambatan penglihatan menurut buku Pendidikan Individu dengan Hambatan Majemuk, yaitu Hambatan penglihatan dengan hambatan Intelektual, Hambatan penglihatan dengan hambatan pendengaran, Hambatan penglihatan dengan hambatan motorik, dan Hambatan penglihatan dengan hambatan perilaku, dll. 

Anak Disabilitas Majemuk diperkirakan memiliki presentase kurang dari 1% dari populasi Anak Berkebutuhan Khusus (Hallahan & Kauffman, 2006). Snell ( dalam Heward & Orlansky, 1998) memakai gambaran prevalensi anak Disabilitas Majemuk sebanyakl 0,05% dari populasi. Di Indonesia sendiri, menurut data yang diperoleh dari Direktorat Pendidikan Luar Biasa (2005/2006) , jumlah anak Disabilitas Majemuk berjumlah sekitar 450 orang.     

Di bagian unit artikel ini saya ingin membahas mengenai pelayanan pendidikan bagi anak yang merupakan penyandang Disabilitas Majemuk, dengan hambatan yang dimiliki yaitu hambatan penglihatan dan hambatan intelektual. Menurut Hatfield (dalam Mangunsong dkk, 1998), seseorang dinyatakan tunanetra jika setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata kemampuan visualnya tidak melebihi 20/200 atau setelah dilakukan berbagai upaya perbaikan terhadap kemampuan visualnya, ternyata pandangannya tidak melebihi 20 derajat. Pengukuran ketajaman visual dapat dilakukan dengan menggunakan snellen chart. Bila didapatkan hasil 20/200, maka dapat disimpulkan bahwa individu tersebut hanya dapat melihat pada jarak 20 kaki. Sementara itu, mata dengan penglihatan normal dapat meilhat dengan jarak 200 kaki (Hallahan & Kauffman, 2006). 

Akibat ketunanetraannya seorang tunanetra memiliki tiga area yang dapat berpengaruh sebagai akibat dari hambatan dalam penglihatan, yaitu:
1.    Perkembangan kognitif dan kemampuan sosial,
Input visual memiliki peraanan yang besar dalam suatu konsep, dalam merangsang dan mengarahkan tingkah laku,   dan secara umum dalam ketepatan informasi yang diterima seseorang dari lingkungannya yang dihubungkan dengan yang ada di pikirannya
2.    Perkembangan Motorik
Untuk mperkembangan motorik, seseorang yang mengalami hambatan penglihatan cenderung lambat, karena kemampuan orientasi yang tidak seperti orang awas.
3.    Perkembangan sosial
Masalah dalam bergerak, sikap orangtua yang terlalu melindungi serta hubungannya dengan kelompok teman sebaya dan anak-anak yang memiliki penglihatan awas, merupakan suatu masalah tersendiri bagi tunanetra dalam hal penyesuaian dirinya.  

Kemudian berbicara terkait kebutuhan pembelajarnya, maka harus berdasarkan keterbatasan yang dialami tunanetra. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa anak dengan hambatan penglihatan memiliki beberapa keterbatas, diantaranya yaitu: Keterbatasan dalam konsep dan pengalaman baru, keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan, keterbatasan dalam mobilitas. Oleh karena itu mereka membutuhkan kebutuhan akan pengalaman kongkrit, kebutuhan akan pengalaman memadukan, kebutuhan akan berbuat dan bekerja dalam belajar. 

Selanjutnya, penulis ingin mendeskripsikan mengenai anak dengan hambatan intelektual, atau yang sering disebut tunagrahita. Seseorang dengan hambatan intelektual yaitu seseorang yang memilki tingkat kecerdasan di bawah rata-rata yang berlangsung pada masa perkembangan, sehingga terhambat dalam adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan sosialnya. 

Kebutuhan belajar seorang tunagrahita sangat beragam, diantaranya yaitu: kebutuhan perasaaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi, kebutuhan perasaan berwenang mengatur diri, kebutuhan perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri, kebutuhan  perasaan puas telah melaksanakan tugas, kebutuhan perasaan bangga atas identitas diri, kebutuhan perasaan keakraban, kebutuhan harapan integritas, Kemudian penulis juga ingin menuliskan kemampuan yang bisa dikembangkan dari sesorang yang mengalami Disabilitas Majemuk gabungan dari tunanetra dan tunagrahita. Berangkat dari keterbatasan yang dimiliki, seseorang yang mengalami Disabilitas Majemuk tunanetra-tunagrahita masih memiliki kemampuan merspon yang baik, maka dalam hal pembelajarannya haruslah berupa media-media yang kongkrit dan mudah dipahami oleh anak. Selanjutnya ia juga tidak memiliki hambatan dalam pendengaran, sehingga dalam hal pengajarannya menggunakan cara pembelajaran auditori, yaitu dengan memaksimalkan fungsi pendengaran untuk dapat digunakan untuk belajar. Selanjutnya ia juga dapat dimaksimalkan kemampuannya untuk bisa membaca, dengan cara belajar Braille, meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama dari seorang yang hanya memiliki hambatan penglihatan saja. 

Selanjutnya saya menyarankan bahwa bobot pelajaran keterampilan diberikan lebih banyak dari pelajaran lain, mengingat kemampuan akademik yang dimiliki sangat minim. Iyulah sebabnya mereka sudah dipersiapkan untuk mengikuti pendidikan keterampilan  sesuai dengan kemampuan dan minat serta keterbatasan yang mereka miliki, karena bagi anak dengan Disabilitas Majemuk keterampilan adalah salah satu penunjang kehidupannya di masa mendatang. 

Keterampilan di berikan secara bertahap sesuai dengan jenjang pendidikannya dan berat ringannya gangguan yang dimiliki mulai dari keterampilan dasar yang sangat rendah mulai dari mengurus diri sendiri (ADL) seperti (1) makan (2) minum (3) berpakaian (4) perawatan diri (5) orientasi lingkungan dan (6) keselamatan diri sampai pada ragam keterampilan yang dibutuhkan agar mereka dapat menjalani kehidupannya secara mandiri (keterampilan hidup). Karena program pendidikan keterampilan hidup merupakan suatu program yang berupaya mempersiapkan peserta didik agar dapat hidup terampil secara mandiri dan bermakna.   


DAFTAR PUSTAKA

Adrian Ashman, and John Elkins. (1994). Educating Children with Special Needs. Australia: Prentice Hall

Amin, Moh. (1995). Ortopedagogik tunagrahita. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Miles, B, dan Riggio, M (1999) “Remarkable Conversation”. Boston: Perkins School for the Blind.

Sunanto Juang, Ph. D dkk (2013). Pendidikan Individu dengan Hambatan Majemuk. Jakarta: Hellen Keller International Indonesia. 

Pawlyn Jillian and Carnaby Steven (2009). Proffound Intellectual and Multiple Disabilities. United Kingdom: A catalogue record for this book is available from the British Library  

UU RI No. 20 Tahun 2002 tentang Sistem Pendidikan Nasional

UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

UU RI No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

Circles Network (2005). What Is Person Centred Planning? Available at: http://www.circlesnetwork.org.uk/what is person centred planning.htm (diakses 27  Oktober 2014)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Karena Untuk Berubah, Kita Butuh Melangkah

Touching Old Blog

Quarter Life Crisis